Skema Kemitraan Pemerintahan yang Terbuka

123RF.com/Andry Popov
Penulis: Meuthia Ganie-Rochman
5/10/2019, 08.00 WIB


OPG dan Kewargaan

Bagaimana sifat kewarganegaraan dalam skema OPG? Asumsi apa yang ada pada skema ini? OPG mengandalkan masyarakat yang secara luas sudah menggunakan teknologi digital. Kewargaan (citizenship) adalah konsep yang selama ini digunakan untuk menggambarkan anggota masyarakat yang peduli dengan hak dan kewajibannya dalam rangka kesejahteraan bersama. Dalam skema OPG, sistem ini bertujuan mendorong partisipasi warga yang luas.

Namun, dalam OPG partisipasi yang substantif baru terjadi pada organisasi-organisasi tertentu yang dilibatkan dalam pembangunan tata kelola publik. Gambaran tentang kewargaan macam apa yang ada di dalam OPG dapat dikatakan nyaris kosong. Ada kekosongan dalam studi-studi yang selama ini telah dihasilkan, baik di Indonesia maupun pada tingkat internasional.

Pengetahuan tentang kewargaan OPG berada pada peradaban digital yang mempunyai karakteristik yang berbeda. Beberapa karakteristik dapat disebutkan di sini. Komunikasi digital banyak menghilangkan interaksi sosial yang mendalam. Anggota masyarakat yang menaruh perhatian pada bidang tertentu memang terkoneksi lebih luas dengan komunikasi digital. Namun, banjir informasi ini tidak diikuti dengan kecepatan untuk mengkonstruksi kembali kepentingan bersama.

Akibatnya, banyak organisasi yang kehilangan relevansinya sebagai pengembangan identitas dan komitmen. Informasi digital juga mengubah ketergantungan individu terhadap kelompok. Informasi digital bisa menghilangkan struktur dominasi. Di sisi lain, informasi digital juga bisa berdampak negatif, seperti kurangnya empati dan komitmen.

Dalam kasus skema digital, permasalahan di atas menimbulkan beberapa persoalan penting. Pertama, anggota masyarakat cenderung tidak tertarik pada persoalan keragaman kepentingan. Hal ini bisa mengikis norma yang menjaga pluralisme dan menumpulkan kemampuan masyarakat dalam menghasilkan norma sosial baru yang dibutuhkan. Kedua, partisipasi masif secara digital tidak bisa menggantikan kekuatan gerakan melalui organisasi. Diperlukan suatu struktur baru yang mampu menentukan arah. Pemikiran yang berpendapat bahwa partisipasi otonomi selalu menghasilkan perbaikan itu tidak benar.

Organisasi dengan model komunikasi yang baru harus dicari untuk menjamin terbangunnya kultur kewargaan. Sesuatu yang mungkin mempertahankan keterbukaan gagasan, namun harus bergerak pada prinsip dan tujuan yang terjaga. Organisasi bukan hanya menawarkan “pengalaman” bagi generasi muda atau milenial, sebuah kata yang jadi hype baru. Tetapi, organisasi juga menjadi pengalaman yang memberikan makna tentang tujuan hidup dalam masyarakat, sekaligus membuka peluang besar untuk terus menambah kompetensi teknokratik.

Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog Organisasi, Universitas Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.