Warung-warung Kecil dan Potensi Bonus Demografi

Katadata/Cindy Mutia Annur
Yogi (33) salah satu mitra warung Bukalapak yang tengah menjaga warung kelontongnya di wilayah Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (21/8).
Penulis: Teddy Oetomo
14/12/2019, 10.00 WIB

Tanpa terasa, hanya dalam hitungan hari, kita akan memasuki tahun 2020. Hampir 14 tahun telah berlalu sejak pertemuan pertama saya dengan Chatib Basri dan diskusi kami tentang bonus demografi (demographic dividend).

Ironisnya, hari ini para ekonom masih terus saja membahas potensi Indonesia yang berbekal bonus demografi dan pertumbuhan kelas menengah. Setelah hampir satu setengah dekade kemudian, ternyata potensi Indonesia masih belum sepenuhnya terealisasi dan narasinya masih tetap sama.

Tiba-tiba sebuah ketakutan menyambar diri saya. Apa yang akan terjadi jika kita gagal memanfaatkan kesempatan yang ada? Bagaimana kalau fase bonus demografi ini terlewat, dan pertumbuhan kelas menengah tidak tercapai? Indonesia akan tua sebelum menjadi kaya. Bila demikian, bagaimana kita akan membiayai masa tua dan pensiun kita? Ketakutan itu pun menghantui saya dan membuat saya berpikir keras mencoba mencari solusi.

Berbagai permasalahan pelik yang dihadapi ekonomi Indonesia sudah sangat sering dibahas para ekonom maupun pejabat. Mulai dari kebutuhan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), kapasitas produksi, dan manufaktur hingga penguatan ekspor guna menekan defisit neraca berjalan.

Belum lagi kebutuhan untuk meningkatkan rasio pajak guna menurunkan defisit fiskal. Ini hanya sebagian dari sederet faktor ekonomi Indonesia yang perlu perbaikan. Tapi, benarkah bahwa Indonesia sama sekali tidak berhasil meningkatkan faktor-faktor makro ekonominya selama ini? Rasanya tidak juga.

Menurut World Economic Forum (WEF), peringkat infrastruktur Indonesia berhasil lompat dari peringkat 62 pada 2015 ke peringkat 52 pada 2017. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berangsur-angsur naik dari 0,641 pada 2006 ke 0,694 pada 2018. Total produksi manufaktur naik 64% dari 2006 sampai 2018.

Fiskal, sekalipun masih berada di ranah negatif, namun berhasil ditekan di bawah 2% pada 2018. Memang, ekspor Indonesia masih didominasi sumber daya alam (SDA), dan harga komoditas yang kurang memadai setengah dekade terakhir masih menyebabkan neraca berjalan kita di posisi defisit. Jika dilihat dari perspektif makro ekonomi, Indonesia secara perlahan namun pasti, sebenarnya bergerak ke arah yang tepat. Tetapi bila demikian, mengapa pertumbuhan ekonomi seakan tak kunjung mampu menembus jauh di atas 5%?

E-commerce Memberdayakan Ekonomi Warung 

Berbagai potensi solusi kerap diusulkan para ekonom, pejabat, dan cendekiawan negara ini. Namun, mungkinkah jawaban sebenarnya terletak pada satu segmen yang begitu mendasar? Jawaban tersebut adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Menurut Asian Development Bank (ADB), UMKM menyumbang 89% lapangan kerja sektor swasta dan berkontribusi 60% dari PDB. Sehingga, pemberdayaan dan peningkatan pertumbuhan UMKM mungkin menjadi potensi jawaban untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sekaligus menghasilkan dampak yang lebih luas dan inklusif.

UMKM seringkali dilihat sebagai sebuah segmen yang paling sulit untuk dikembangkan. Mereka tersebar luas di berbagai penjuru tanah air, tidak homogen, memiliki kualitas yang sangat beragam dan berkecimpung dalam berbagai macam industri yang berbeda. Belum lagi permasalahan kapasitas yang dimiliki seringkali terbatas, dan masih banyak lagi aspek-aspek lain yang membuat segmen ini begitu menantang.

Walaupun tantangan-tantangan tersebut tentunya sangatlah nyata, perkembangan teknologi demikian pesat di era ini rasanya menawarkan sebuah potensi solusi yang menarik. Untuk pertama kalinya, UMKM kita tidak lagi terhambat oleh batasan lokasi dan geografis. Platform e-commerce menjadi jalan keluar bagi para pelaku UMKM untuk bisa melayani pembeli dari Sabang sampai Merauke.

Persaingan Unicorn di Warung (Katadata)

Melalui teknologi, para pelaku UMKM dapat melebarkan sayap usaha mereka tanpa menggelontorkan modal maupun investasi yang besar. Bentuk UMKM yang paling kecil sekalipun, seperti warung, pada akhirnya bisa memotong jalur perantara pada saat berbelanja kebutuhan dagang mereka. Hal ini menawarkan potensi keuntungan yang lebih besar bagi pelaku UMKM.

Menurut saya, ini juga sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab kami dan perusahaan teknologi lainnya untuk bisa menawarkan solusi-solusi yang berpotensi meningkatkan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia.

Hari ini, warung-warung kecil tidak lagi terbatas hanya menjual kebutuhan pokok. Lewat layanan smartphone yang mereka miliki, warung-warung tersebut dapat menyediakan layanan-layanan mulai dari pembelian pulsa, pembayaran tagihan BPJS dan listrik, bahkan sampai berjualan tiket pesawat.

Benar, warung-warung kecil itu sekarang bahkan bisa naik kelas menjadi agen perjalanan. Bahkan, mereka juga bisa menjual produk-produk keuangan mendasar kepada konsumennya. Semua ini membuka jalan bagi pegiat UMKM untuk mendapatkan aliran pendapatan yang lebih besar dan beragam. Di saat yang sama, hal ini membantu terciptanya inklusi keuangan dan digital di Indonesia.

Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif

Para entitas penyedia jasa-jasa inipun bisa mendapatkan imbalan ekonomi yang menarik. Melalui teknologi, para pelaku UMKM tidak lagi dihadapkan pada perantara yang berlapis-lapis, yang menggerus keuntungan mereka dan produsen. Bahkan, potensi keuntungannya pun demikian besar sampai entitas yang menyediakan layanan tersebut mungkin tidak perlu terlibat dalam pembakaran uang secara irasional. Cukup besar rasanya potensi kue keuntungan yang dapat dibagikan.

Tentunya, saya menyadari bahwa terdapat solusi lain dan UMKM bukanlah solusi satu-satunya. Namun, saya berharap pemberdayaan UMKM yang lebih menyeluruh dapat memberikan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan inklusif bagi Indonesia.

Saya ingin melihat orang Indonesia mampu menjadi kaya sebelum telanjur dimakan usia. Semoga suatu hari nanti saya dapat kembali berbincang dengan Chatib Basri. Namun, kali ini bukan lagi tentang potensi Indonesia yang belum terealisasi tetapi tentang bagaimana Indonesia akhirnya berhasil memanfaatkan bonus demografi dan mendongkrak kelas menengah kita melaju pesat.

Teddy Oetomo
Chief Strategy Officer (CSO) Bukalapak

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.