Pada minggu pertama Desember 2019, berlangsung pertemuan dua hari tingkat menteri negara-negara anggota International Energy Agency (IEA) di Paris, Prancis. Tema yang diangkat adalah “Building The Future of Energy” atau Membangun Masa Depan Energi. IEA adalah organisasi antarpemerintah otonom negara-negara maju anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Awalnya, IEA dibentuk sebagai respons atas krisis minyak 1974 untuk memastikan kelancaran pasokan minyak dunia.
Belakangan, misi dan mandat organisasi IEA diperluas ke tiga pilar kebijakan energi, yakni keamanan energi, pembangunan ekonomi, dan perlindungan lingkungan. Hal ini seiring dengan kesepakatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Paris Agrement Accord 2015. Inti kesepakatan itu adalah mengurangi pemanasan global di bawah 20 derajat Celcius yang diakibatkan oleh emisi karbon dioksida (CO2) yang menimbulkan efek gas rumah kaca.
Dalam komunike yang dikeluarkan pada akhir pertemuan –dapat diakses di laman IEA– terdapat nuansa dan keinginan yang kuat untuk bertransisi dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan yang ramah lingkungan dan irit emisi karbon dioksida (CO2). Komunike Paris menyatakan bahwa 85% emisi CO2 disumbangkan oleh sektor energi. Yang paling besar kontribusinya terhadap emisi CO2 adalah energi fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam.
IEA menekankan agar prioritas pembangunan yang ditopang oleh penyediaan energi ke depan harus berbasis emisi rendah dan mempromosikan energi bersih, berkelanjutan, terjangkau, serta teknologi energi yang aman dan efisien. Juga memastikan bahwa aliran dana harus konsisten kepada negara-negara yang rendah emisi gas rumah kacanya. Narasi eufemisme yang digunakan adalah program transisi ke energi bersih.
Pada minggu yang bersamaan, berlangsung konferensi PBB tentang perubahan iklim COP 25 di Madrid, Spanyol. Temanya sama, "Menyatukan Aksi Bersama: Satu-satunya Langkah ke Depan". Tema ini dikonkritkan sebagai rencana aksi penyelamatan iklim. Salah satu rekomendasi yang akan disampaikan kepada negara-negara OECD adalah mengurangi atau menghentikan bantuan kepada negara-negara yang mengembangkan dan memanfaatkan energi fosil.
Implikasi rekomendasi ini sangat serius. Misalnya negara-negara dan korporasi di negara maju tidak akan membiayai pembangunan atau pengembangan pembangunan sektor energi yang menggunakan fosil, seperti kilang minyak, pembangkit listrik tenaga uap batu bara, atau eksplorasi lapangan gas. Termasuk aksi sepihak yang membatasi pasar atau mengenakan bea yang tinggi terhadap produk-produk negara berkembang yang dianggap merusak alam, seperti komoditas perkebunan dan kehutanan.
Transisi ke Energi Bersih Harus Bertahap
Tidak semua negara maju setuju dengan kebijakan tersebut. Jepang, yang masih banyak bergantung pada energi fosil dan banyak terlibat membantu negara-negara di kawasan dengan teknologi uap batu bara, berpendapat berbeda dan bersuara lantang.
Transisi ke energi nonfosil harus dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. Banyak negara yang sumber pendapatannya bertumpu pada energi fosil. Hal ini terutama karena harga dan teknologinya saat ini lebih kompetitif, murah, dan tersedia melimpah sebagai sumber daya alam setempat.
Memaksa beralih drastis ke energi baru akan melumpuhkan dan memiskinkan negara negara tersebut. Ini merupakan bentuk ketidakadilan baru. Sementara itu, di sisi lain dunia telah sepakat salah satu visi tujuan pembangunan berkelanjutan adalah tidak ada satu negara pun yang boleh tertinggal (no one country left behind).
Implikasi bagi Indonesia
Indonesia memiliki target besar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dari emisi business as usual (BAU) pada 2030. Indonesia juga memiliki target energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025 dalam bauran energi. Penggalakan penggunaan bio energi yang saat ini dalam proses B30 dan yang akan ditingkatkan ke B50 atau lebih di tahun-tahun mendatang adalah upaya nyata untuk pengurangan ketergantungan kepada energi fosil.
Indonesia berupaya keras untuk menaikkan bauran energi dari sektor EBT, seperti tenaga matahari, PLTA (air), panas bumi, tenaga angin maupun bio massa. Kondisi alam Indonesia yang banyak berawan dan musim penghujan, tiupan angin yang tidak stabil, serta sebagian besar terutama di wilayah Timur merupakan pulau-pulau dan jauh dari sumber energi menjadi kendala. Dalam konteks ini, penggunaan energi berbasis fosil seperti gas masih merupakan andalan yang memiliki keunggulan komersial, pasokan tidak terputus, serta lebih praktis.
Pembangkit listrik masih tetap didominasi energi primer fosil. Pada 2017, kapasitas pembangkit tenaga listrik menggunakan energi fosil sebesar 85%, utamanya batu bara. Beberapa pembangkit baru yang dalam tahap pembangunan seperti proyek PLTU Batubara Indramayu #2, mendapatkan dukungan dana dari ODA (Official Development Assistance) Jepang. Pada 2025 energi primer kelistrikan diproyeksikan sebesar 102,6 MTOE, porsi terbesar batu bara 59%, disusul EBT 27% dan gas 14,1%. Porsi batu bara pada tahun 2050 diproyeksikan berkurang menjadi 52%.
Kebutuhan kilang minyak domestik (termasuk perluasan dan pembangunan kilang baru), memerlukan pasokan minyak mentah, baik melalui produksi domestik ataupun impor. Demikian juga roda perekonomian dan keuangan negara, termasuk kestabilan fiskal dana bagi hasil yang menopang anggaran daerah masih signifikan bertumpu pada energi fosil.
Strategi Diplomasi dan Hilirisasi
Sehubungan dengan konstelasi di atas, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan pemerintah negara lain yang memiliki persoalan yang sama, melakukan instrumen diplomasi bersama yang efektif kepada negara-negara maju OECD agar objektif mempertimbangkan kondisi di masing-masing negara.
Kedua, bekerja sama secara sistematis dan berkelanjutan dengan negara-negara maju untuk meningkatkan teknologi penggunaan dan pemanfaatan energi primer yang efisien, bersih, dan harganya terjangkau.
Terakhir adalah secara terstruktur, terpola dan terpadu mentransformasi paradigma energi primer sebagai sumber pendapatan. Energi harus digunakan sebagai modal pembangunan, meningkatkan nilai tambah energi fosil dengan mendorong pengolahan lanjut dan hilirisasi.
Hal ini harus menjadi pola pikir dalam kebijakan umum penyusunan anggaran belanja negara. Dengan demikian, Indonesia sebagai warga dunia tetap mengambil peran dan tanggung jawabnya untuk menjaga iklim, seraya memperkuat bangunan struktur perekonomian negara yang berbasis nilai tambah hilirisasi energi primer.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.