Geliat Ekonomi Negeri Tanah Emas di Bawah Aung San Suu Kyi

Donang Wahyu|KATADATA
Penulis: Donang Wahyu
13/7/2018, 18.47 WIB

Sejumlah orang asyik membidikan kamera telefon genggamnya di atas jembatan penyebrangan Sule Pagoda Road, sebuah sudut di pusat kota Yangon, Myanmar. Meski hari itu mendung menggelayut, aktivitas di lokasi yang berada tepat di jantung kota tersebut selalu ramai. Maklum, tempat itu merupakan salah satu lokasi favorit penduduk setempat dan wisatawan untuk berfoto karena sangat dekat dengan Pagoda Sule, salah satu Pagoda terbesar di Myanmar.

Sejak tumbangnya rezim militer, Myanmar kini semakin terbuka. Para pelancong dari luar negeri semakin banyak mengunjungi negeri yang lama berada di bawah kekuasaan junta militer ini. Investor asing juga mulai melirik untuk menanamkan dananya.

Namun, krisis kemanusiaan atas minoritas Rohingya yang terjadi belakangan ini di negara bagian Rakhine telah memukul pemerintahan Suu Kyi. Kunjungan wisatawan asing menurun drastis. Dampaknya, sejumlah lokasi wisata yang biasanya ramai di kunjungi turis kini sepi.

Di runut ke belakang, Myanmar sebagai negeri yang baru membuka diri menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik di ASEAN. Pariwisata menjadi salah satu andalah pendapatan bagi negara  yang dijuluki sebagai Tanah Emas ini.

Menurut Bank Dunia, pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita Myanmar telah meningkat dari $ 193,2 pada 2000 menjadi $ 1.195,5 pada dua tahun lalu. Walaupun, angka pertumbuhan ini masih termasuk yang terendah di ASEAN. Perubahan politik di Myanmar disebut-sebut menjadi penggerak ekonomi negara ini.

Investor mulai menanamkan modalnya di sejumlah proyek infrastruktur. Pembangunan gedung baru perlahan terlihat, meski tidak massif. Sejumlah hotel banyak berdiri. Jika dahulu wisatawan kesulitan mencari penginapan, kini hal itu tak terjadi lagi.

Namun tidak semua berjalan mulus. Investor asing mengkritik pemerintah yang menunda Undang-Undang Perusahaan Baru, serta gagal mengatasi lemahnya perubahan infrastruktur dan peraturan yang mereka harapkan akan ditangani tahun lalu. Investor lokal juga kehilangan kepercayaan akan reformasi ekonomi dan menyalahkan kurangnya arahan dari National League for Democracy (NLD), partai yang telah dua setengah tahun memegang kekuasaan.

“Perekonomian sangat lambat. Pemerintah tidak tahu cara menangani masalah ini. Mereka perlu mendengarkan saran dari para ahli,” kata U Than Lwin, penasihat senior untuk Kanbawza Bank Ltd dan mantan wakil gubernur Bank Sentral Myanmar. “Mereka tidak memilih orang-orang tepat untuk mengisi posisi yang tepat,” tambahnya.

Reporter: Donang Wahyu