Studi Harvard: Indonesia Peringkat Pertama Negara Paling Sejahtera
Uang terbukti tidak bisa membeli kebahagian. Studi yang dilakukan Universitas Harvard, Baylor University, dan lembaga survei internasional Gallup menempatkan Indonesia dalam peringkat pertama sebagai negara yang penduduknya paling flourishing atau sejahtera secara menyeluruh.
Mengutip The New York Post, studi kesejahteraan global ini merupakan hasil survei terhadap lebih dari 200 ribu respondens di 22 negara yang mewakili 64% populasi dunia. Laporan ini melampaui cakupan laporan-laporan kebahagiaan tahunan sebelumnya.
Berbeda dengan ukuran kebahagiaan konvensional, konsep flourishing dalam studi itu didefinisikan sebagai keadaan di mana seluruh aspek kehidupan seseorang berjalan dengan baik. Konsep itu mencakup tidak hanya kesehatan mental dan fisik, tetapi juga makna dan tujuan hidup, karakter dan kebajikan, hubungan sosial yang erat, serta stabilitas ekonomi dan material.
Meski bukan negara kaya, Indonesia dinilai unggul berkat tingginya kualitas hubungan sosial, nilai-nilai kebersamaan, dan keterlibatan masyarakat. Karakter prososial seperti gotong royong dan ikatan komunitas yang kuat menjadi faktor pembeda dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang menempati peringkat 12 dan Jepang yang berada pada peringkat terendah dalam daftar.
“Indonesia tidak menonjol secara ekonomi, tetapi memiliki kekuatan dalam hubungan sosial dan nilai-nilai karakter yang mendukung komunitas,” kata peneliti, seperti dikutip dari The New York Post, Senin (5/5).
Negara yang juga menempati peringkat teratas dalam studi ini adalah Israel, Filipina, Meksiko, dan Polandia. Sedangkan Jepang, menempati posisi paling bawah meskipun memiliki usia harapan hidup tertinggi. Ini karena banyak warga Jepang yang dinilai tidak memiliki hubungan sosial dekat.
Studi juga mencatat, aktivitas kelompok rutin seperti keagamaan berkontribusi besar terhadap kualitas hidup. Negara-negara berpenghasilan tinggi cenderung mengalami kekurangan dalam aspek hubungan bermakna dan keterlibatan komunitas, dibandingkan negara-negara berkembang.
“Kami tidak mengatakan bahwa kekayaan atau umur panjang tidak penting. Tapi temuan ini menunjukkan bahwa ada harga yang mungkin dibayar dalam proses pembangunan,” kata Brendan Case, salah satu penulis studi.
Melalui studi ini, para peneliti mengajak dunia untuk merenungkan ulang arah pembangunan, dengan menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan nilai-nilai manusia seperti makna hidup, relasi, dan kebajikan.