Kemenkeu: Defisit Melebar Hingga Rp 12 T Jika Harga Minyak Terus Turun

KATADATA |
Ilustrasi, gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kemenkeu perkirakan defisit APBN bisa melebar menjadi Rp 12 triliun jika rata-rata harga minyak Indonesia terus turun ke level US$ 30,9 per barel.
22/4/2020, 10.27 WIB

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) makin melebar, jika level harga rata-rata minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) terus menurun.

"Jika rata-rata setahun ICP terus turun ke level US$ 30,9 per barel, defisit APBN diperkirakan bertambah Rp 12,2 triliun," tulis Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu dalam keterangan resmi, Rabu (22/4).

Perubahan ICP akan berdampak signifikan terhadap APBN karena, baseline asumsi harga ICP dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2020 adalah US$ 38 per barel untuk harga rata-rata sepanjang tahun 2020. Untuk saat ini, harga ICP masih sedikit di atas harga minyak Brent.

Sejak awal tahun, harga minyak dunia memang cenderung mengalami penurunan, disebabkan aktivitas ekonomi global yang terdampak pandemi virus corona (Covid-19).

Permintaan global yang semakin turun, ditambah dengan sentimen negatif dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global, membuat harga minyak jenis Brent dan West Texas Intermediate (WTI) terus turun.

Bahkan, minyak jenis WTI pada Senin (20/4) mencatatkan rekor terburuk sepanjang sejarah, yakni berada di level minus US$ 37 per barel. Produsen minyak dilaporkan memilih memberikan stok minyak, karena kapasitas penyimpanan terbatas.

Meski demikian, kondisi ini diperkirakan berdampak secara jangka pendek, mengingat harga jual WTI untuk kontrak pengiriman Juni 2020 masih berkisar pada US$ 20 per barel.

(Baca: Ambruknya Harga Minyak yang Menambah Beban Ekonomi RI)

Dalam kondisi seperti ini, Febrio mengatakan, pemerintah akan terus melakukan pemantauan untuk melakukan kebijakan antisipatif, termasuk pengendalian defisit.

"Salah satunya melalui evaluasi atas belanja non-produktif, dan mengambil langkah-langkah mitigasi untuk menjaga kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Eric Sugandi menilai, penurunan harga minyak berdampak negatif pada penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berkait dengan migas.

"Walaupun penurunan harga minyak bisa menurunkan beban subsidi bahan bakar minyak (BBM), tapi penurunan dari sisi penerimaan ini akan lebih besar daripada penurunan pengeluaran pemerintah," kata Eric kepada Katadata.co.id, Selasa (21/4).

Eric menilai, penurunan harga minyak berpotensi mengerek defisit APBN, namun di sisi lain mampu pula menekan defisit minyak dan gas (migas) di neraca dagang.

"Ini bisa membantu menurunkan defisit transaksi berjalan dari defisit neraca dagang migas. Surplus neraca dagang  naik, dan defisit neraca jasa dapat mengecil karena biaya transportasi yang turun," ujarnya.

(Baca: Penerimaan Negara Terancam Kejatuhan Harga Minyak)

Reporter: Agatha Olivia Victoria