Ekonom Harap Presiden Terpilih Mampu Atasi Masalah Ketimpangan Ekonomi

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi ketimpangan ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi masih berpusat di Jawa.
Penulis: Rizky Alika
9/4/2019, 20.29 WIB

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Fasial berharap presiden yang terpilih pada periode 2019-2024 dapat mengatasi ketimpangan ekonomi antar wilayah. Sebab, menurutnya selama 20 tahun terakhir ekonomi hanya terpusat di Jawa.

"Masalah ketimpangan antar wilayah masih lebar, bukan hanya 5 tahun terakhir tapi dari 1998," kata dia dalam Diskusi Jelang Debat Capres di Jakarta, Selasa (9/4).

Ia pun menyoroti distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), salah satu indikator pertumbuhan ekonomi daerah, pada 2018 yang masih terfokus di Jawa, yaitu sebesar 59%.

Sementara, Sumatera sebesar 21%, Kalimantan 8%, dan Sulawesi 6%. Disusul kemudian oleh Maluku dan Papua serta Bali dan Nusa Tenggara, masing-masing dengan besaran yang sama, yaitu 3%.

(Baca: Kritik Infrastruktur Era Jokowi, Faisal Basri Minta Bangun Jalur Laut)

Ia pun menilai, pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah berupaya untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, pemerintah masih perlu dorongan yang lebih besar. Adapun, kunci dari pemerataan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan revitalisasi manufaktur.

Dalam 5 tahun ke depan, revitalisasi dan reformasi struktural harus ditingkatkan guna mendorong daya saing Indonesia. Selain itu, kunci pertumbuhan yang merata tidak hanya dengan pembangunan infrastruktur. Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan guna memperluas cakupan investasi ke luar Jawa.

Tak hanya itu, ia berpendapat bahwa pemberian insentif fiskal perlu diberikan lebih besar lagi, tertuama untuk kawasan industri di luar Jawa. Hal ini perlu diiringi dengan sinergi antara kebijakan sektor riil dan moneter. Berikutnya, pemerataan pertumbuhan dapat didorong melalui sektor pariwisata.

"Sektor pariwisata mampu mendorong pertumbuhan lebih luas, tidak hanya parsial," ujarnya.

Sementara, Direktur Riset CORE, Piter Abdullah Redjalam mengungkapkan, pemerintah perlu melakukan terobosan sistem moneter. Sebab, perputaran uang sebesar 80% masih fokus di Jawa. Dari jumlah tersebut, sebesar 70% masih di wilayah Jakarta. "Jadi bayangkan kalau mengeluarkan transfer dengan dana yang besar ke luar Jawa, tapi akan balik lagi ke Jawa," kata dia.

(Baca: Istana Anggap Ekonomi RI Terbang Saat Negara Lain Menukik)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan wilayah Nusa Tenggara dan Bali hanya tumbuh 2,47% pada 2018 lalu. Pelemahan pertumbuhan terjadi seiring dengan bencana yang melanda wilayah tersebut, terutama gempa bumi besar di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Sementara, Maluku dan Papua mencatatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan, dari 4,89% pada 2017 menjadi 6,99% pada 2018. Meski, masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonominya pada 2016 yang sebesar 7,45%.

Ekonomi Sumatera dan Jawa juga tercatat membaik, masing-masing menjadi 4,54% dan 5,72% ketimbang tahun sebelumnya 4,3% dan 5,61%. Sementara itu, ekonomi Sulawesi dan Kalimantan melemah, masing-masing menjadi 6,65% dan 3,91% dibandingkan sebelumnya sebesar 6,99% dan 4,33%.