Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menduga adanya pelemahan daya beli masyarakat yang menyebabkan penurunan ekspor dan impor pada September 2019.
"Kami menduga adanya pelemahan dalam daya beli masyarakat karena ekonomi kita dipacu oleh konsumsi rumah tangga. Kalau konsumsi turun, impact-nya terjadi penurunan daya beli," kata dia di Ritz-Carlton, Jakarta, Selasa (15/10).
Menurutnya, penurunan ekspor dan impor dapat mencerminkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, perlambatan ekonomi dapat terlihat bila terjadi penurunan impor bahan baku. Perlambatan ekonomi tersebut, dikhawatirkan terjadi akibat penurunan daya beli.
Di sisi lain, ia menilai defisit neraca dagang pada September terjadi akibat pertumbuham ekonomi belum optimal. Hal ini terjadi lantaran pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh penduduk kelas menengah ke atas, sedangkan penduduk kelas menengah ke bawah tertekan.
(Baca: Terancam Resesi, Pemangkasan Subsidi akan Lemahkan Daya Beli & Ekonomi)
Ini artinya, kelas menengah ke bawah mengalami penyempitan pekerjaan lantaran adanya efisiensi perusahaan. "Makanya lihat ada fenomena driver ojek online meningkat," ujar dia.
Sementara, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan, defisit perdagangan terjadi akibat 70% kebutuhan bahan baku dan penolong dipenuhi dari impor. "Bagaimana mungkin kita bisa mencapai (surplus) kecuali ekspor kita naik lebih," ujar dia.
Namun, ia memperkirakan pertumbuhan ekspor sulit dilakukan lantaran kondisi ekonomi global diliputi ketidakpastian. Oleh karena itu, Shinta memperkirakan defisit neraca dagang masih akan terjadi.
Shinta menilai, solusi dari hal tersebut ialah dengan industrialisasi. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan industri hulu agar tidak bergantung kepada produk impor.
(Baca: Ekspor Makin Loyo, Neraca Dagang September Defisit US$ 160 Juta)
Dari sisi ekspor, diversifikasi pasar perlu dilakukan. Selain itu, eksportir dan importir perlu diberikan kemudahan agar neraca dagang tetap terjaga. Adapun, peningkatan ekspor akan selalu diikuti dengan peningkatan impor.
Sementara, penurunan impor diperkirakan terjadi lantaran adanya penurunan kinerja industri. Sebagaimana diketahui, industri membutuhkan impor bahan baku untuk meningkatkan produksinya. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk mengantisipasi penurunan impor yang terjadi. "Kita harus berisap juga jangan sampai kita masuk dalam resesi," ujar dia.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada September 2019 defisit sebesar US$ 160 juta, memburuk dibanding bulan sebelumnya yang mencatatkan surplus US$ 85 juta. Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan ekspor pada September tercatat sebesar US$ 14,1 miliar turun 1,21% dibanding bulan sebelumnya atau 5,74% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, impor pada September tercatat turun 2,41% dibanding periode yang sama tahun lalu. "Neraca perdagangan pada September 2019 defisit US$ 160 juta. Secara kumulatif, Januari-September 2019, neraca perdagangan defisit US$ 1,95 miliar," jelas Suhariyanto.
(Baca: Bank Dunia Pangkas Lagi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia)
Sebelumnya Bank Dunia telah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan melambat ke angka 5% dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 5,17%. Sama halnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi tidak akan mencapai target 5,3% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.
Menkeu memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya mencapai 5,08%. "Yang harus dilihat adalah investasi apakah masih akan tetap dilevel 5%," kata dia di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Senin (15/10).
Berikut ini adalah target dan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia selama lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo.