Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Disarankan Fokus ke Daya Beli

Arief Kamaludin | Katadata
Ilustrasi strategi industri retail dalam menghadapi daya beli masyarakat yang turun. Ekonom Senior INDEF Aviliani menilai menjaga daya beli masyarakat lebih penting daripada mendorong investasi masuk demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
27/11/2019, 21.09 WIB

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani menyarankan agar pemerintah fokus pada pemberian insentif yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat dibandingkan untuk mendorong investasi.

Hal ini seiring dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tidak bersumber dari utang melainkan investasi. Sedangkan konsumsi dalam negeri menurut Menkeu tidak lagi dapat diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Menkeu optimistis, dengan menggenjot investasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7%. Oleh karena itu, untuk mengundang lebih banyak investasi, pemerintah telah menyiapkan berbagai fasilitas fiskal dan memperbaiki iklim investasi termasuk dengan memangkas hambatan-hambatan investasi dari segi kebijakan atau perizinan.

"Kalau insentifnya ke investasi semua, 'kan itu investasinya belum tentu ada. (Jadi) tidak efektif," kata Aviliani dalam acara The 3rd Consumer Banking Forum di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (27/11).

(Baca: Sri Mulyani: Bukan dari Utang, Ekonomi bisa Tumbuh 7% dari Investasi)

Menurut dia, salah satu kebijakan insentif yang bisa diberikan pemerintah yakni dengan menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Dengan PTKP yang lebih besar, masyarakat akan memiliki alokasi pendapatan yang dapat dibelanjakan yang lebih besar sehingga pada akhirnya bisa mendorong konsumsi.

Dia menilai hal tersebut lebih penting dibanding investasi karena konsumsi memiliki kontribusi hingga 56% dari total produk domestik bruto (PDB). "Apalagi investasi Indonesia masih terbatas karena produknya belum berkembang," ujarnya.

Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menunjukkan konsumsi rumah tangga sejak semester I 2018 selalu tumbuh di atas 5% sehingga berkontribusi besar dalam menjaga pertumbuhan ekonomi seperti terlihat dalam databoks berikut ini.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan bahwa saat ini masyarakat yang memiliki simpanan di bawah Rp 2 miliar cenderung menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan belanja.

(Baca: Penjualan Mobil Domestik Anjlok 11,7 % Terpukul Pelemahan Daya Beli)

"Oleh karena itu, pemerintah perlu mempercepat berbagai program yang bisa mendukung masyarakat bisa mempertahankan konsumsinya," ucap Halim saat ditemui usai acara.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat, penyaluran kredit perbankan tumbuh melambat, yakni dari 8,7% secara tahunan (year on year/yoy) pada Agustus 2019 menjadi 8% pada September. Perlambatan terutama terjadi pada kredit modal kerja dan kredit konsumsi.

Padahal, BI telah menurunkan suku bunga acuannya, BI 7 days reverse repo rate, sebesar 100 basis poin (bps) sepanjang 2019. Pertumbuhan kredit modal kerja (KMK) melambat dari 7,5% menjadi 6,1%. Perlambatan terutama terjadi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran dari 6% menjadi 5% dan industri pengolahan dari 11,2% menjadi 7,2%.

Sementara itu, pertumbuhan kredit konsumsi melambat dari 7% menjadi 6,9% dengan total penyaluran mencapai Rp 1.580,2 triliun. Perlambatan terutama terjadi pada kredit kendaraan bermotor dari 3,1% menjadi 1%. Sementara itu, kredit pemilikan rumah (KPR) melambat dari 11,3% menjadi 10,8%.

(Baca: Ekspor-Impor Lesu, Pengusaha Duga Ada Pelemahan Daya Beli)

Reporter: Agatha Olivia Victoria