Pemerintah Amerika Serikat (AS) mencoret Indonesia sebagai negara berkembang. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno mengatakan, status tersebut di satu sisi harus diwaspadai karena bakal menimbulkan dampak lain terhadap kebijakan internasional.
"Harus dipastikan dunia usaha kita harus siap, ekonomi siap dan peran kolaborasi pemerintah dan dunia usaha sangat penting," kata Sandi di Jakarta, Selasa (25/2).
Terlebih ada hubungannya terhadap pemberian tarif preferensi atau Generalize System of Preference (GSP) atau keringanan bea masuk impor barang ke AS. Hal ini harus dilihat dan ditunjau kembali.
(Baca: Sandiaga Uno Sebut Banjir Ibu Kota Berimbas Terhadap 90% UMKM)
"Ini yang saya khawatir, kalau tidak disosialisasikan dengan baik bisa menggerus daya saing dan mengurangi investasi dan kemudian menggerus lapangan kerja secara negatif," katanya.
Dia juga mempertanyakan penetapan status negara maju Indonesia oleh AS. Terlebih jika standar tersebut ditetapkan berdasarkan, kriteria pendapatan per kapita. Sebab, negara maju saat ini menurutnya merupakan negara dengan penghasilan di atas US$ 15.000 - 17.000 per kapita. Sementara Indonesia posisi Indonesia saat ini masih sangat jauh yang mana saat ini masih US$ 4.000.
"Ukuran apa yang dipakai negara untuk menentukan itu perlu kita analisa dan kita pastikan agar tidak ada kerancuan," ujar Sandi.
Lebih lanjut, Sandi menjelaskan untuk menjadi negara yang benar-benar maju, pemerintah harus meningkatkan output ekonomi dengan menambah jumlah investasi yang masuk. Tak hanya itu, sebagai negara dengan tingkat konsumsi dalam negeri yang tinggi pemerintah harus memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi lebih baik.
Sebelumnya, AS melalui Kantor Perwakilan Perdagangan atau USTR mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang. Hal ini diketahui berdasarkan informasi yang disampaikan USTR melalui laman resminya pada Senin (10/2).
(Baca: Sandiaga Uno Tegaskan Tak Ingin Duduki Jabatan di BUMN)
Hal ini membuat Indonesia tidak bisa menerima perlakuan khusus pada subsidi dan countervailing measures lantaran dianggap sebagai negara yang mampu. Batas minimum nilai barang impor AS dari negara maju yang dibebaskan dari penyelidikan bea masuk anti subsidi berubah sebesar 1%, lebih kecil dari batas de minimis negera berkembang sebesar 2%.
Keputusan tersebut dilihat berdasarkan pendapatan nasional bruto atau GNI suatu negara berdasarkan data Bank Dunia. USTR juga mempertimbangkan porsi perdagangan suatu negara terhadap dunia sesuai data the Trade Data Monitor.
"Untuk tujuan hukum CVD AS, Perwakilan Dagang AS menganggap negara-negara dengan pangsa 0,5% atau lebih dari perdagangan dunia sebagai negara maju," kata USTR dalam pemberitahuan federalnya.
USTR juga mengeluarkan sejumlah anggota G20 dari daftar negara berkembang seperti Argentina, Brazil, India, dan Afrika Selatan.