Indonesia Dinilai Baru Pantas Sandang Status Negara Maju 10 Tahun Lagi

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ilustrasi, warga berjalan dengan latar belakang gedung bertingkat di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Senin (27/1/2020).
27/2/2020, 22.05 WIB

Amerika Serikat (AS) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang. Namun, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai Indonesia belum pantas menjadi negara maju.

Ekonom Senior INDEF Aviliani menyampaikan, indikator penilaian AS menjadikan Indonesia negara maju tak masuk akal. "Kalau 10 tahun lagi mungkin wajar kita dianggap negara maju. Tetapi itu dengan berbagai upaya," kata dia di Jakarta, Kamis (27/2).

Salah satu hal yang harus dilakukan Indonesia untuk menjadi negara maju, yakni menaikkan pendapatan per kapita. Pendapatan nasional bruto (gross national income/GNI) negara maju sekitar US$ 12.375, sementara Indonesia baru menyentuh US$ 3.840 per kapita pada 2018.

(Baca: Dicoret dari Negara Berkembang, Ekspor RI ke AS Terancam Turun)

Dengan pendapatan per kapita sebesar itu, menurutnya Indonesia masih masuk ke dalam kategori negara berpendapatan menengah atau middle income. "Ini harus naik terus,” kata dia.

Selain itu, parameter pembangunan sosial, seperti tingkat kemiskinan, angka kematian bayi, tingkat melek huruf orang dewasa, tingkat harapan hidup juga harus terus ditingkatkan.

Utamanya tingkat kemiskinan. Penduduk dengan tingkat pengeluaran di bawah US$ 1,9 per hari mencapai 5,7% dari total penduduk Indonesia. Lalu, yang berpendapatan kurang dari US$ 3,2 per hari mencapai 27,3% pada 2017.

(Baca: Sisi Negatif Status Negara Maju bagi Neraca Dagang Indonesia – AS)

Karena itu, Penelti INDEF Ahmad Heri Firdaus mengusulkan Indonesia mendeklarasikan penolakan terhadap pencabutan status negara berkembang. "Jika tidak, dikhawatirkan akan ada dampak berkelanjutan dari pencabutan status ini," kata dia.

Salah satu dampaknya, Kantor Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative/USTR) akan melanjutkan penyelidikan terhadap beragam produk impor dari Indonesia. Hal ini akan menghambat perdagangan, karena bea impor AS menjadi lebih tinggi.

Hal itu akan berdampak terhadap ekspor Indonesia ke depan. "Bisa turun 1-2% (ekspor ke AS)," ujar Heri. (Baca: Dianggap Negara Maju, Indonesia Terancam Bea Masuk Anti Subsidi AS)

Tarif yang lebih tinggi membuat negara pengekspor mau tidak mau harus meningkatkan kualitas. Selain itu, perlu memperhatikan aspek kesehatan dan keamanan lingkungan. Jika Indonesia tidak memperbaiki posisi daya saing produk, maka ekspor Indonesia ke AS bakal menurun.

Selain itu, Indonesia kemungkinan tak lagi mendapatkan insentif tarif preferensial umum atau Generalized System of Preferences (GSP). GSP merupakan program unilateral pemerintah AS berupa pembebasan tarif bea masuk kepada negara-negara berkembang.

Bukan hanya AS, Indonesia tak akan mendapat GSP dari Australia, Belarus, Kanada, Uni Eropa, Islandia, Jepang, Kazakhstan, Selandia Baru, Norwegia, Federasi Rusia, Swiss, dan Turki. Hal ini karena Indonesia dianggap negara maju.

Pemerintah juga tak akan lagi mendapatkan kemudahan dan fasilitas pinjaman lunak (soft loan) luar negeri, technical assistance dari negara maju, biaya keanggotaan badan dunia meningkat hingga perlakuan dunia yang berbeda. "Biaya sebagai negara maju itu sangat besar dan memberatkan keuangan negara maupun ekonomi domestik," katanya.

Indonesia memang menargetkan menjadi negara maju pada 2045, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita US$ 23,2 ribu atau Rp 324,9 juta. Dengan target ini, PDB nasional bisa mencapai US$ 7,4 triliun atau menempati peringkat lima terbesar di dunia.

(Baca: Dianggap Negara Maju, Pemerintah Pastikan RI Dapat Keringanan Tarif AS)

Reporter: Agatha Olivia Victoria