Impor Turun Akibat Pandemi Corona, Neraca Dagang Maret Diramal Surplus

ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.
Ilustrasi, petugas mengoperasikan alat berat saat bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Peti Kemas Sukarno Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (15/3/2020).
15/4/2020, 08.43 WIB

Data neraca dagang Maret akan dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada pagi, hari ini (15/4). Beberapa ekonom memperkirakan, neraca ekspor-impor Indonesia kembali surplus karena pandemi corona.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memperkirakan, surplus neraca dagang di kisaran US$ 700 juta hingga 800 juta. “Ini terjadi karena impor turun, saat industri manufaktur kontraksi," ujar dia kepada Katadata.co.id, Rabu (15/4).

Bank Indonesia (BI) mencatat Purchasing Manufacture Index (PMI) per kuartal I 2020 berada di level 45,64%. Angka ini turun dibanding kuartal IV 2019 yang sebesar 51,50% dan 52,65% pada kuartal I 2019.

PMI merupakan indikator ekonomi yang mencerminkan keyakinan para manajer bisnis di sektor manufaktur. (Baca: Jokowi: Pertumbuhan Ekonomi akan Turun Cukup Tajam akibat Corona)

Bhima mengatakan, industri saat ini menahan pembelian bahan baku. Penyebabnya, produksi bahan baku dan penolong di Tiongkok belum pulih sepenuhnya karena pandemi virus corona.

Selain itu, impor barang konsumsi melambat karena daya beli terpukul wabah Covid-19. "Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara langsung memberi tekanan terhadap anjloknya pendapatan masyarakat," ujar Bhima.

Dari sisi ekspor, harga komoditas masih cenderung rendah khususnya minyak mentah. Permintaan global melemah seiring prediksi organisasi perdagangan dunia (WTO) bahwa volume perdagangan global terkontraksi hingga 32% sepanjang tahun ini.

(Baca: Impor dari Tiongkok Anjlok, Defisit Perdagangan AS Terendah Sejak 2016)

Ekonom Permata Bank Josua Pardede pun memperkirakan neraca perdagangan Maret surplus US$ 406 juta. "Surplus terlihat menurun jika dibanding bulan sebelumnya yang cukup tinggi, yakni US$ 2,34 miliar," katanya kepada Katadata.co.id.

Laju ekspor diperkirakan terkontraksi 6,94% secara tahunan. Sedangkan impor diprediksi anjlok 5,31%.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan ekspor kemungkinan terkontraksi pada bulan lalu. Salah satunya harga komoditas ekspor rerata turun. Harga minyak sawit mentah (CPO) misalnya, turun 3,16% secara bulanan.

Lalu, harga karet turun 20,54%. Sedangkan harga batu bara naik tipis 0,67%. (Baca: BPS Catat Ekspor Masker Selama Februari Melonjak 34 Kali Lipat)

Josua menjelaskan, kinerja ekspor terkontraksi juga dikarenakan penurunan volume perdagangan. Hal ini tecermin dari aktivitas manufaktur di mayoritas negara tujuan ekspor Indonesia seperti Zona Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Jepang.

PMI Manufacturing Eurozone turun ke level 44,5. Lalu AS turun menjadi 48,5 dan Jepang ke level 36,2.

Laju impor juga diperkirakan masih terkontraksi, terutama non-migas. Hal ini tecermin dari aktivitas manufaktur domestik yang menurun. "Akibat masih terbatasnya pasokan bahan baku serta penurunan permintaan domestik akibat pandemi," kata dia.

Penurunan aktivitas manufaktur Indonesia mengindikasikan impor bahan baku dan barang modal cenderung lemah. Namun, impor barang konsumsi masih meningkat terkait dengan alat-alat kesehatan dan obat-obatan, dalam rangka penanganan virus corona.

Impor migas juga diperkirakan melemah. Anjloknya impor migas terindikasi dari penurunan harga minyak hingga 54,24%.

(Baca: Ekspor Makanan Naik, Industri Pengolahan Surplus Rp 20,4 Triliun)

Reporter: Agatha Olivia Victoria