Ekonom BNI: Pemerintah dan Perbankan Bersaing Himpun Dana Masyarakat

Arief Kamaludin|Katadata
Ilustrasi dana masyarakat.
Penulis: Happy Fajrian
24/3/2019, 12.46 WIB

Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto menduga ada potensi perebutan dana masyarakat antara perbankan dan pemerintah. Pasalnya kebutuhan pendanaan pemerintah pada 2019 menurut data Kementerian Keuangan mencapai Rp 833,94 triliun yang sebagian besar akan dibiayai melalui penerbitan surat berharga negara (SBN).

"Pemerintah akan sangat agresif menerbitkan surat utang untuk pendanaan berbagai proyek pemerintah. Sementara bank juga cari dana dari masyarakat. Bisa disimpulkan tahun ini tingkat rivalitas antara pemerintah dengan industri perbankan dan industri keuangan secara keseluruhan, akan semakin ketat," kata Ryan dalam acara pelatihan wartawan ekonomi dan moneter Bank Indonesia (BI), di Yogyakarta, Sabtu (23/3).

Berdasarkan jenisnya, dari jumlah Rp 833,94 triliun, Rp 296 triliun merupakan kebutuhan untuk membiayai defisit APBN 2019, Rp 474,7 triliun untuk membayar surat utang yang telah jatuh tempo, dan Rp 63,3 triliun untuk kebutuhan belanja lainnya. Hingga Februari 2019 pemerintah telah menyerap dana publik senilai Rp 122,5 triliun yang Rp 119,5 triliun didapatkan melalui penerbitan SBN, naik 670,3% dibandingkan periode yang sama 2018 yang hanya Rp 15,5 triliun.

"Pemerintah menerbitkan SBN Rp 119, triliun itu di bulan Februari saja. Pantesan DPK (dana pihak ketiga) perbankan susut, jangan-jangan (dana masyarakat) belok kesini," kata Ryan.

(Baca: Likuiditas Bank Ketat, Rasio LDR Tertinggi Lebih dari 10 Tahun)

Ryan mengatakan, dana senilai Rp 119,5 triliun tersebut sudah masuk ke rekening milik pemerintah di BI. Dia menilai, dana tersebut seharusnya segera dibelanjakan sehingga masuk kembali ke sistem perbankan sehingga terjadi normalisasi likuiditas perbankan, namun hingga saat ini hal tersebut belum terjadi.

Kekhawatiran Ryan cukup beralasan. Statistik Perbankan Indonesia Januari 2019 menunjukkan, DPK industri perbankan tercatat Rp 5.563 triliun, turun 1,19% dari posisi Desember 2018 Rp 5.630 triliun. Jika diasumsikan pertumbuhan DPK tahun ini sebesar 10%, maka ada potensi tambahan DPK senilai Rp 563 triliun yang juga berpotensi terserap ke instrumen SBN.

Sementara itu, masyarakat juga memiliki pilihan yang semakin beragam dalam menyimpan atau menginvestasikan dananya. Pasalnya, perusahaan-perusahaan besar saat ini semakin banyak yang mencari pendanaan melalui pasar modal, tidak lagi mengandalkan pendanaan dari industri perbankan.

"Masyarakat sebagai pemilik dana sekarang jadi punya pilihan yang lebih beragam, mau simpan di deposito oke, mau beli saham oke, mau beli obligasi juga oke, karena pasar keuangan kita makin dalam, jumlah emiten baru makin banyak," kata Ryan. Dampaknya, industri perbankan akan semakin sulit menjaring DPK dari masyarakat karena makin beragamnya instrumen keuangan tersebut.

5 Strategi Perbankan Jaga Likuiditas

Kendati demikian, Ryan menjelaskan ada strategi yang bisa diterapkan industri perbankan untuk menjaring DPK baru sekaligus menjaga DPK yang ada agar tidak lari ke bank lain atau instrumen keuangan lainnya seperti SBN dan instrumen pasar modal. Ada lima strategi yang saat ini telah diterapkan di BNI dalam menjaga kondisi likuiditasnya.

(Baca: Mewaspadai Likuiditas Ketat Perbankan dan Perebutan Dana Masyarakat)

Strategi pertama adalah close loop transaction. Close loop transaction berupaya agar debitur yang telah mendapatkan fasilitas kredit dari bank kreditur, juga menggunakan produk/layanan bank kreditur untuk transaksi keuangannya. Bank bisa memasukkan klausul tersebut ke dalam perjanjian kredit dengan calon debitur.

"Jangan sampai kreditnya dari BNI tapi semua transaksi keuangannya dari bank tetangga. Paling tidak 30% transaksinya menggunakan produk BNI, seperti untuk pembayaran gaji, KPR karyawan, KTA karyawan," jelas Ryan. Jika debitur menolak klausul tersebut, tambahnya, bank bisa menaikkan suku bunga pinjamannya, misal, sebesar 25 basis poin. "Semuanya negotiable, bisa dirundingkan," ucap Ryan.

Strategi kedua, mendorong seluruh nasabah bank, baik nasabah institusi ataupun individual untuk menggunakan layanan kanal elektronik milik bank. "Karena itu kita terus kembangkan digital channel-nya BNI, salah satunya melalui QR code Linkaja," ujar Ryan.

Strategi ketiga yaitu supply chain financing atau value chain financing. Melalui strategi ini bank akan menjadikan seluruh rantai pasok debitur menjadi nasabahnya. "Kalau ada debitur besar BNI, dia pasti punya kontraktor dan sub-kontraktor. Kita garap semuanya. Ibaratnya sekali pukul dapat banyak," terang Ryan.

(Baca: Pemerintah Tawarkan Banyak SBN Ritel untuk Investasi, Ini Rinciannya)

Kemudian strategi keempat, memperbanyak kerjasama dengan merchant sehingga seluruh jalur pembayaran atau penyelesaian (settlement) transaksi keuangan menggunakan perangkat milik bank. Tentunya dengan menjadikan merchant tersebut sebagai nasabah bank terlebih dahulu.

Strategi kelima yaitu memberikan special rate kepada nasabah agar tidak beralih ke bank lain. Menurut Ryan strategi ini diupayakan menjadi senjata terakhir bank untuk menjaga DPK-nya. "DPK kita tentu floating keluar/masuk. Kita mencari yang stabil. Yang mudah keluar itu time deposit. Kalau likuiditas kita terganggu, kita jual mahal time deposit dengan special rate. Kita usahakan ini menjadi senjata terakhir," pungkas Ryan.

Reporter: Happy Fajrian