Vale Gandeng Perusahaan Tiongkok untuk Bangun Smelter Bahadopi

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. PT Vale Indonesia Tbk berencana membantun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Bahadopi, Sulawesi Tenggara dengan nilai investasi mencapai US$ 1,8 miliar.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Agustiyanti
27/8/2019, 19.13 WIB

PT Vale Indonesia Tbk (INCO) berencana menggandeng perusahaan asal Tiongkok guna membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) feronikel di Bahadopi, Sulawesi Tengah.

"Saat ini sudah kerucut satu partner dan tahap final negosiasi komersial, harapannya segera rampung. Memang negosiasi komersial ini lebih panjang dari perkiraan," kata Direktur Vale Indonesia  Febriani Eddy ketika ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (27/8).

Ia menjelaskan pabrik pemurnian ini akan memiliki kapasitas produksi sebanyak 70 ribu ton. Adapun nilai investasinya mencapai US$ 1,6 miliar hingga US$ 1,8 miliar. Sementara investasi pada tambangnya mencapai US$ 300 juta.

Febriani memastikan seluruh investasi dan pengelolaan tambang akan dilakukan Vale Indonesia. Adapun kerja sama investasi dengan pihak Tiongkok hanya dilakukan untuk pembangunan smelter. 

(Baca: Rugi Puluhan Triliun, Pengusaha Protes Larangan Ekspor Nikel)

Direktur Vale Indonesia Bernandus Irmanto menambahkan saat ini pihaknya masih melakukan negosiasi terkait pembagian saham dengan calon mitra. Namun, ia menyebut pihaknya akan berusaha menjadi pemegang saham mayoritas pada smelter tersebut.

"Tergantung yang chip in berapa perusahaan. Kami sih berusaha untuk jadi mayoritas," kata Bernandus menambahkan.

Smelter Pomalaa

Selain tengah menjajaki kerja sama dengan perusahaan Tiongkok,  Vale Indonesia juga tengah bernegosiasi dengan perusahaan pertambangan asal Jepang Sumitomo untuk membangun smelter nikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Rencananya, Sumitomo akan memegang saham sebesar 51% di smelter tersebut, sedangkan sisanya dipegang Vale.

(Baca: Vale Gandeng Sumitomo Bangun Smelter di Sulawesi Tenggara)

Febriani mengatakan, total investasi untuk pembangunan pabrik tersebut senilai US$ 2,5 miliar untuk pabrik smelternya saja. Sedangkan untuk nilai investasi tambangnya, dia menyebutkan nilainya sebesar US$ 300 juta. "Sekarang yang jadi tantangan terbesar di Pomalaa adalah perizinan, kami sedang proses amdal. Harapannya segera dapat (izin amdal) lalu proses izin lainnya," katanya.

Smelter di Pomalaa ini bakal memproduksi bahan baku baterai untuk bisa digunakan untuk menjadi mobil listrik. Bernandus memperkirakan pembangunan pabrik baru akan dimulai tahun depan setelah perizinan rampung. Adapun proses kontruksi smelter diperkirakan membutuhkan waktu 4-5 tahun.

"Tidak akan selesai (perizinan tahun ini). Mungkin (proses perizinan selesai) tahun depan atau 2021. Karena perizinan panjang," ungkap dia. 

Reporter: Ihya Ulum Aldin