Phapros Setop Produksi dan Peredaran Obat Ranitidin

KATADATA
ilustrasi pabrik obat. PT Phapros Tbk (PEHA) resmi melakukan penarikan kembali (recall) dan menghentikan produksi obat yang mengandung ranitidin sesuai imbauan BPOM.
Editor: Ekarina
9/10/2019, 13.33 WIB

PT Phapros Tbk (PEHA) resmi melakukan penarikan kembali (recall) dan menghentikan produksi obat yang mengandung ranitidin. Hal ini dilakukan sebagaimana imbauan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Recall secara khusus ditujukan untuk jenis ranitidin HCl Cairan Injeksi 25 mg/ml untuk nomor bets produk jadi: 95486160 s/d 190, 06486001 s/d 008, 16486001 s/d 051, 26486001 s/d 019. Proses penarikan sudah dilakukan per 25 September 2019. 

"Penarikan dilakukan di seluruh outlet Indonesia, seperti pedagang besar farmasi, instalasi farmasi pemerintah, puskemas, klinik, apotek, dan dokter," ujar Sekretaris Perusahaan Phapros Zahmilia Akbar dalam keterangan pers yang diterima katadata.co.id, Rabu (9/10).

(Baca: Mahasiswa UI Temukan Obat Alternatif Kanker Serviks dari Ikan Lionfish)

Perusahaan juga diminta melaporkan secara berkala kepada BPOM terkait pemberhentian produksi, recall, dan pemusnahan produk yang mengandung bahan aktif Ranitidin.

Adapun prosedur tersebut merupakan tindak lanjut dari penghentian distribusi dan produksi perseroan sejak 25 September 2019, terkait indikasi cemaran N-nitrosodimethylamine (NDMA) dalam RANITIDIN.

Pada 13 September 2019, BPOM Amerika Serikat dan European Medicine Agency (EMA) menemukan cemaran NDMA di dalam Ranitidin. Website resmi BPOM Indonesia pada 4 Oktober 2019 juga menyatakan bahwa cemaran NDMA terkandung dalam bahan baku Ranitidin, yang mana bahan baku yang sama juga digunakan oleh perusahaan farmasi di Indonesia, termasuk Phapros.

Senyawa NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang terbentuk secara alami. Reaksi alami dalam bahan aktif ranitidin tersebut menyebabkan tingkat kandungan NDMA antara satu produk Ranitidin dengan yang lain berbeda.

(Baca: BPOM Perkirakan Kerugian Akibat Obat Palsu Rp 46 Miliar)

Beberapa lain seperti Singapura dan Bangladesh juga telah merespon dengan menarik obat-obatan tersebut. "Kami meminta masyarakat untuk tidak panik, karena langkah cepat telah diambil oleh BPOM dan perusahaan," ujarnya.

Phapros merupakan produsen farmasi yang memproduksi lebih dari 250 item obat.  Salah satu hasil pengembangan sendiri, yang juga menjadi unggulan perseroan yakni Antimo.

Adapun 56,7% saham Phapros dimiliki oleh PT Kimia Farma Tbk (KAEF) yang merupakan bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sedangkan sisa sahamnya dimiliki oleh publik. 

Industri farmasi Indonesia cukup prospektif. Nilainya diproyeksikan mencapai Rp 102,8 triliun pada 2020, meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan pada 2016 sebesar Rp 69,1 triliun seperti yang ditunjukkan dalam lampiran databoks berikut ini. 

Reporter: Fariha Sulmaihati