Kadin Sebut Potensi Energi Terbarukan Capai 431 GW, Pemanfaatan Minim

ANTARA FOTO/ANIS EFIZUDIN
Ilustrasi instalasi sumur geothermal atau panas bumi milik PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng. Kadin menilai potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 431 giga watt (GW) memiliki sekitar 40 persen cadangan energi geothermal dunia sehingga memiliki potensi tinggi untuk sumber energi terbarukan namun baru sekitar lima persen yang digunakan.
26/11/2019, 17.19 WIB

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup, Halim Kalla menyatakan potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia belum digarap dengan baik lantaran terkendala regulasi dan investasi.

Padahal, sumber-sumber EBT di Indonesia, yang mencakup panas bumi, air dan mikro-mini hydro, bio energi, surya, angin, dan arus laut, mampu memproduksi listrik sebesar 431 giga watt (GW). "Sayangnya pemanfaatannya masih terbatas," ungkap Halim di Jakarta, Selasa (26/11).

Dia menambahkan bahwa pengembangan EBT di Indonesia masih terkendala pengembangan teknologi, investasi dan regulasi yang menyebabkan harga jualnya kurang kompetitif. Alhasil menurunkan minat investor untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut.

(Baca: Jokowi Curhat Ditegur PBB dan IMF Karena Banyak Manfaatkan Batu Bara)

"Selain itu penambahan skema BOOT (build, own, operate, transfer) dianggap merugikan investor yang membuat perbankan tak mau menerima pembangkit listrik sebagai jaminan," kata dia.

Dalam 3 tahun terakhir, pelaku usaha merasakan sulitnya mengembangkan EBT. Ada beberapa faktor di lapangan yang secara langsung dialami pelaku industri yang menghambat. Salah satunya terkait kebijakan dan regulasi yang dianggap hanya menguntungkan PLN. 

Kondisi ini berdampak pada kegagalan menarik investasi sektor swasta ke sektor EBT. Selain itu, faktor penghambat lainnya yaitu akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan terbatasnya proyek EBT yang bankable. "Akibatnya investasi energi terbarukan terus turun sejak 2015," kata dia. 

Untuk mengatasi hal itu, Kadin merekomendasikan lima hal yakni satu, dibutuhkan aturan yang memprioritaskan pemanfaatan EBT dibandingkan energi fosil. Kedua, adanya pengaturan harga EBT berdasarkan jenis sumber, lokasi dan kapasitas terpasang yang dibangun.

(Baca: Menteri ESDM: Pemanfaatan EBT Minim, Hanya 8% Dari Potensi 400 MW)

Tiga, pemberian insentif fiskal dan non-fiskal untuk percepatan investasi EBT hingga mencapai harga keekonomian. Empat, pembentukan Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPEI) yang akan berperan untuk mencapai target EBT dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebesar 23% pada 2025 dan penurunan emisi gas rumah kaca 29% pada 2030 dari sektor energi.

Lima, membentuk dana energi terbarukan untuk mendorong percepatan investasi energi terbarukan, termasuk di dalamnya untuk penyediaan insentif, penelitian dan pengembangan, peningkatan kapasitas, kompensasi PLN, serta haI-hal lain yang berkaitan dengan percepatan investasi energi terbarukan. 

Menurut data International Renewable Energy Agency (IRENA) kapasitas terpasang listrik EBT pada 2010 baru 5.475,4 mega watt (MW). Namun, pada 2018 kapasitas terpasang listrik EBT naik 73% menjadi 9.484 MW. Dalam RUPTL 2019-2028, pemerintah menargetkan bauran pembangkit listrik EBT sebesar 11,4% pada 2019. Kemudian terus meningkat menjadi 23,2% pada 2028.

(Baca: Indonesia Punya 312 Lapangan Panas Bumi, Bisa Jadi Sumber Energi Baru)

Reporter: Tri Kurnia Yunianto