Pemerintah berupaya menarik investor untuk berinvestasi di sektor Energi Baru Terbarukan (EBT). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang menyiapkan formula untuk menarik investor, di antaranya menggodok skema kontrak cost recovery untuk dalam pengembangan sektor panas bumi.
"Kami sedang membuat formula baru yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak (pemerintah dan swasta)," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam acara Indonesia Data and Economic Conference atau IDE Katadata 2020 di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta, Kamis (30/1).
(Baca: Target Energi Terbarukan di 2025 Bergantung Investasi dari Swasta)
Arifin menyebut pengembangan di sektor panas bumi memiliki risiko lebih tinggi dibanding pengembangan di sektor EBT lainnya. Maka itu, menurutnya, diperlukan insentif untuk mendorong investasi di sektor tersebut.
Dia menyebut mempertimbangkan skema kontrak cost recovery dalam eksplorasi geothermal. "Ke depan kami pikirkan bagaimana mendorong geothermal, salah satunya mirip dengan ekplorasi migas yang risikonya ditanggung dengan cost recovery," kata Arifin.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, Indonesia masih mempunyai potensi pengembangan EBT yang masih besar. Di antaranya sektor panas bumi masih mempunyai potensi 28,5 GW dengan realisasi yang hanya terserap baru 2,1 GW (7,4%). Kemudian pengembangan energi bersih air, mini hidro, mikro hidro yang mempunyai potensi 75 GW dengan realisasi yang terserap baru 5,9 GW (7,9%).
(Baca: Pemerintah Bakal Terbitkan Perpres Feed In Tariff untuk Pembangkit EBT)
Berikutnya, bioenergi yang mempunyai potensi 32 GW dengan realisasi yang terserap baru 1,9 GW (5,9%). Kemudian, surya panel yang masih mempunyai potensi 207 GW p dengan realisasi yang baru terserap 0,1 GW p (0,1%) dan terakhir bayu/angin dengan potensi yang dimiliki 60 GW dan realisasi baru 0,2 GW (0,3%).
Di sisi lain, Chief Executive Officer of Landscape Indonesia Agus Sari menilai transisi energi fosil ke energi bersih sangat penting untuk segera dilakukan. Meski begitu, pengembangan energi bersih di Indonesia masih mengalami tantangan tersendiri khususnya terkait harga jual.
Pasalnya, aturan yang diberikan untuk pengembangan EBT dinilai masih kurang ekonomis bagi investor."EBT masih diberikan aturan, yang saya kira menghambat 85 persen dari harga produksi bahkan kalau kita pasang surya panel sendiri itu membuat energi lebih mahal," kata Agus.
Penggunaan energi bersih tersebut semakin penting setelah Bank Dunia atau World Bank telah mengumumkan akan menghentikan bantuan pendanaan untuk eksplorasi minyak dan gas bumi. "Investor menyadari bisnis energi fosil menjadi sunset industry (tidak menarik lagi), sudah bukan primadona," kata dia.
(Baca: Desakan Transisi Energi Nonfosil Global dan Implikasinya ke Indonesia)