AS Siapkan Aturan Baru untuk Boikot Perusahaan Tiongkok, Huawei & ZTE

123RF.com
Ilustrasi Huawei. Regulator telekomunikasi AS menyiapkan kebijakan baru untuk melarang perusahaan di perdesaan memakai dana subsidi untuk membeli peralatan Huawei dan ZTE.
Penulis: Desy Setyowati
29/10/2019, 13.48 WIB

Amerika Serikat (AS) sempat membatasi penjualan produk Huawei Technologies dan ZTE Corp pada Mei lalu. Kini, regulator telekomunikasi Negeri Paman Sam menyiapkan kebijakan khusus untuk kedua perusahaan asal Tiongkok itu.

Pada 19 November nanti, akan ada pertemuan terkait keamanan nasional. Komisi Komunikasi Federal (The Federal Communications Commission/FCC) berencana memberikan suara bahwa Huawei dan ZTE sebagai risiko keamanan nasional.

Dengan begitu, pelanggan kedua perusahaan di perdesaaan AS tidak boleh menggunakan dana subsidi US$ 8,5 miliar untuk membeli peralatan atau layanan dari Huawei dan ZTE.

“FCC juga berencana untuk mengusulkan agar mewajibkan operator (pelanggan) untuk melepas dan mengganti peralatan dari perusahaan yang ditunjuk tersebut (Huawei dan ZTE),” demikian kata pejabat FCC dikutip dari Reuters, Selasa (29/10).

Pada pertemuan November nanti, FCC akan bertanya kepada operator yang menjadi pelanggan Huawei dan ZTE terkait biaya yang diperlukan jika mereka tidak lagi menggunakan layanan kedua perusahaan Tiongkok itu. Pertanyaan ini diajukan karena pemerintah ingin membuat program penggantian untuk mengganti biaya pemindahan peralatan.

(Baca: Terkena Sanksi AS, Penjualan Huawei Malah Naik 23% di Semester I 2019)

Ketua FCC Ajit Pai dalam pernyataannya mengatakan, instansinya tidak ingin mengambil risiko terkait keamanan nasional dari adanya layanan jaringan generasi kelima (5G). “Kami berharap yang terbaik,” kata dia.

Ia khawatir, penggunaan layanan Huawei dan ZTE bakal berisiko terhadap keamanan AS. “Kami tidak bisa mengabaikan risiko bahwa pemerintah Tiongkok akan berusaha mengeksploitasi kerentanan jaringan untuk terlibat dalam spionase, memasukkan malware dan virus,” katanya.

Langkah ini merupakan yang terbaru dari serangkaian tindakan pemerintah yang bertujuan melarang perusahaan AS membeli peralatan Huawei dan ZTE. Kedua perusahaan Tiongkok itu punya waktu 30 hari untuk memberikan bukti terkait tidak adanya risiko keamanan nasional.

"Dalam 30 tahun bisnis, Huawei tidak pernah memiliki insiden besar terkait keamanan di 170 negara tempat kami beroperasi," kata juru bicara Huawei di Shenzhen, Tiongkok. Ia khawatir, kebijakan ini akan merugikan penyedia broadband atau jaringan di perdesaan AS karena tidak bisa memberikan layanan.

Dengan begitu, sebagian penduduk AS tidak bisa menikmati layanan internet berkualitas baik. “Tindakan semacam itu akan semakin memperluas kesenjangan digital, memperlambat laju perkembangan ekonomi tanpa semakin mengamankan jaringan telekomunikasi nasional,” katanya.

Sedangkan ZTE belum memberikan tanggapan terkait kebijakan yang tengah disiapkan oleh FCC.

(Baca: AS Tambah Lima Perusahaan Superkomputer Tiongkok dalam Daftar Hitam)

Kebijakan ini sebenarnya sudah diusulkan sejak Maret lalu. Saat itu, FCC tidak secara spesifik nama perusahaan, yakni Huawei dan ZTE.

Namun, Komisaris Demokrat FCC Jessica Rosenworcel menyampaikan bahwa kebijakan ini sudah dikaji selama 18 bulan. “Kita harus sadar bahwa dalam ekonomi global, jaringan kita masih akan terhubung ke peralatan tidak aman di luar negeri. Jadi kita harus mulai meneliti bagaimana kita dapat membangun jaringan yang dapat menahan koneksi ke kerentanan peralatan di seluruh dunia,” kata dia.

FCC berpendapat, hubungan perusahaan dengan pemerintah Tiongkok, aparat militer, dan kebijakannya menimbulkan risiko terhadap keamanan nasional AS.

Kongres pun telah mempertimbangkan regulasi guna memberikan otorisasi hingga US$ 1 miliar bagi penyedia nirkabel kecil dan perdesaan untuk untuk beralih dari Huawei dan ZTE. FCC juga dapat menggunakan dana itu untuk membayar penggantian peralatan.

Setidaknya ada sekitar selusin operator telekomunikasi perdesaan AS yang bergantung pada sakelar dan peralatan Huawei dan ZTE. Mereka pun kabarnya tengah berdiskusi dengan Ericsson dan Nokia untuk mengganti peralatan.

(Baca: Pendapatan Huawei Tembus Rp 1.220 Triliun pada Kuartal III 2019)