Menimbang Prospek Bisnis Duniatex di Tengah Belitan Utang

Dok. Duniatex
Sejumlah pekerja mengawasi produksi kain di salah satu pabrik milik Grup Duniatex.
16/9/2019, 17.35 WIB

Beberapa anak usaha Grup Duniatex tengah menghadapi masalah gagal bayar utang. Akhir Juli lalu, Duniatex menyatakan tengah melakukan pembicaraan dengan kreditur untuk restrukturisasi. Namun, di tengah upaya tersebut, enam anak usaha Duniatex digugat pailit oleh perusahaan pemasoknya. Lantas, seberapa pelik persoalan Duniatex dan bagaimana prospek bisnisnya ke depan?

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai bisnis Duniatex sebenarnya tidak bermasalah. Dugaannya, gagal bayar terjadi karena kesalahan pengelolaan keuangan. Pemilik memiliki banyak usaha dan diduga uang hasil utang dipergunakan tidak hanya untuk kepentingan usaha tekstil Duniatex melainkan untuk usaha lainnya termasuk usaha properti.

Bila manajemen mampu menyelesaikan permasalahan likuiditas dan membayar kewajibannya, ia menilai Duniatex bisa kembali sehat. “Masalahnya, mengembalikan kemampuan likuiditas ini bukan hal yang gampang. Kecuali bila pemilik Duniatex setor tambahan modal,” ujarnya kepada katadata.co.id, Senin (16/9).

(Baca: Fitch Ungkap Problem Berat Keuangan Grup Duniatex)

Di sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai Duniatex menghadapi situasi berat. Masalah likuiditas perusahaan disebabkan tiga faktor. Pertama, ada indikasi pelemahan sektor tekstil. Kinerja ekspor beberapa jenis tekstil dan pakaian dalam tiga tahun terakhir terpukul pelemahan permintaan global.

Persaingan yang ketat dengan kompetitor asal Vietnam, Bangladesh, bahkan Ethiopia juga membuat produsen tekstil Indonesia berguguran. “Dulu brand besar seperti Nike dan Adidas banyak lakukan outsourcing ke Indonesia. Sekarang tinggal sebagian kecil, karena kita kalah berkompetisi, maraknya pungli, dan mahalnya biaya logistik,” kata dia.

Kedua, produsen tekstil yang memasok ke domestik kalah bersaing dengan produk impor dari Tiongkok yang harganya jauh lebih murah. Apalagi, kebijakan impor tekstil juga relatif longgar. "Sudah kalah dari sisi kualitas dan harga, pemerintah tidak memproteksi pasar domestik secara serius," ujarnya.

(Baca: Ancaman Produk Tiongkok ke Industri Tekstil Dalam Negeri)

Ketiga, perusahaan dinilai terlalu berani berutang dalam situasi ekonomi yang kurang kondusif, apalagi utang yang dipinjam banyak dalam bentuk valas. Ini menimbulkan risiko kurs saat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat.

"Prospek ke depannya pasti makin berat, apalagi ada pelemahan permintaan ekspor secara global. Bahkan saat ini masih berlanjut banjir impor," ujar Bhima.

Dalam situs resminya, Grup Duniatex melampirkan klarifikasi anak usahanya yang berstatus perusahaan publik -- Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) -- mengenai situasi gagal bayar yang dialami beberapa anak perusahaan dalam grup.

Duniatex merupakan perusahaan tekstil terintegrasi. DMDT menerangkan, anak usaha Duniatex di bidang pemintalan atau spinning group (industri hulu) serta finishing group (industri hilir) gagal memenuhi kewajibannya karena masalah likuiditas yang diklaim bersifat sementara.

Di sisi lain, DMDT – anak usaha di bidang penenunan atau weaving group (industri tengah) -- belum mengalami gagal bayar hingga saat pernyataan tersebut dipublikasikan pada Juli 2019 lalu. Meski begitu, DMDT menyatakan telah mengajukan penundaan pembayaran untuk fasilitas kredit berjangka bernilai US$ 160 juta dari September 2019 menjadi Juni 2020. Perusahaan menyatakan tengah berdiskusi dengan agen pemberi fasilitas.

(Baca: Gagal Bayar Obligasi, Duniatex Punya Mal hingga Rumah Sakit)

Masalah likuiditas terjadi sebagai dampak dari kondisi dagang yang menantang di pasar tekstil Indonesia dan kekalahan dalam kontrak jual-beli mata uang berjangka (forward currency contract) yang sebetulnya digunakan perusahaan untuk melindungi perusahaan dari risiko kurs.

DMDT menjelaskan, kondisi Duniatex berbeda dengan perusahaan tekstil besar lainnya, Sritex dan Pan Brothers. Sritex dan Pan Brothers dinilai masih menikmati untung dari arus masuk tekstil asal Tiongkok, karena mereka menggunakan produk tersebut untuk bahan bakunya. Selain itu, kedua perusahaan berorientasi ekspor.

Di sisi lain, mayoritas bisnis Duniatex memproduksi bahan belum jadi untuk perusahaan tekstil di bidang finishing. Produk ini sama dengan yang masuk dari Tiongkok. Kondisi ini ditambah pelemahan permintaan domestik imbas pemilu dinilai menjadi salah satu penyebab menurunnya permintaan dari dalam negeri.

Gugatan Pailit

Sebanyak enam anak usaha Grup Duniatex digugat pailit oleh perusahaan pemasok PT Shine Golden Bridge di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah. Gugatan tersebut didaftarkan pada 11 September 2019, dengan nomor perkara 22/Pdt. Sus-PKPU/2019/PN Niaga Smg.

Enam entitas usaha yang digugat yakni, Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), Delta Dunia Textile, Delta Merlin Sandang Tekstil, Dunia Sandang Tekstil, Dunia Setia Sandang Asli Tekstil, dan Perusahaan Dagang dan Perindustrian Damai.

Perusahaan tersebut meminta pengadilan mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas keenam perusahaan. “Menetapkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara terhadap (enam anak usaha Duniatex) untuk jangka waktu paling lama 45 hari sejak dikeluarkannya putusan,” demikian tertulis.

Bila gugatan ini dikabulkan, maka proses PKPU dimulai dengan pengadilan memanggil debitur dan kreditur yang dilanjutkan dengan persetujuan rencana perdamaian. Bila tidak terjadi persetujuan hingga waktu yang ditetapkan, hakim pengawas akan menyatakan perusahaan pailit.