Pengamat sekaligus Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa meminta pemerintah menerapkan aturan yang lebih transparan terkait tata niaga impor gula. Hal ini untuk menekan praktik kecurangan yang dilakukan pejabat pemerintah maupun swasta.
"Ini bisa menjadi pembelajaran bersama jika transparasi itu bisa membersihkan pejabat dari korupsi. Semua masyarakat harus tahu bagaimana transparasi keuangannya," ujar Andreas kepada katadata.co.id, Kamis (5/9).
Karenanya, pemerintah dinilai perlu mengkaji ulang tata kelola impor. Sebab, selain karena iming-iming fee impor yang besar, keharusan pemerintah melibatkan pihak swasta dalam impor dikhawatirkan bisa menjadi celah bagi pejabat untuk melakukan pelanggaran.
(Baca: Arum Sabil, Petani Tebu dalam Pusaran Rente Gula PTPN III)
"Sayangnya perusahaan pemerintah selalu melibatkan swasta dalam melakukan impor. Ini karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk mengimpor," kata dia.
Untuk memberantas mafia impor gula, Andreas memberikan tiga saran. Pertama, pemerintah melakukan prosedur yang lebih terbuka agar masyarakat bisa tahu mengenai detail impor, maupun pihak-pihak yang diberikan izin impor.
Opsi kedua, menyerahkan kewenangan impor hanya kepada pihak pemerintah dengan keuntungan yang akan digunakan kembali oleh negara. "Ya bisa saja impor hanya dilakukan oleh pemerintah, namun BUMN yang bersangkutan harus memiliki kapasitas untuk menjalankan impor," ujarnya.
Saran lain, menurutnya pemerintah juga bisa membuka impor gula kepada siapa saja, namun dengan skema pengenan tarif untuk melindungi petani.
(Baca: Direksi Terjerat Kasus Suap Gula, PTPN III: Operasional Tak Terganggu)
Membanjirnya gula impor di Indonesia mengancam keberlangsungan gula petani lokal. Pasalnya, saat ini harga gula yang ditetapkan dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi petani.
Saat ini, harga gula petani hanya sekitar Rp 9.700, namun ongkos produksinya mencapai Rp 10.500. Sehingga harus ada keberpihakan pemerintah terkait pengembangan gula dalam negeri.
OTT Suap Impor Gula
Sebelumnya, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhada lima orang tersangka kasus suap distribusi gula impor.
Kelima orang yang ditangkap, yakni pengelola Money Changer di Jakarta Freddy Tandou, orang kepercayaan pemilik PT Fajar Mulia Transindo Ramlin, pegawai Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Corry Luca, Direktur Pemasaran PTPN III dan Komisaris Utama PT KPBN I Kadek Kertha Laksana, dan Direktur Utama PT KPBN Edward S Ginting.
Dalam konstruksi kasus, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjelaskan bahwa Fajar Mulia Transindo merupakan perusahaan yang bergerak di bidang distribusi gula.
Pada awal 2019, perusahaan milik Pieko itu ditunjuk menjadi pihak swasta dalam skema kontrak jangka panjang dengan PTPN III. Dalam kontrak itu, perusahaan mendapat kuota impor gula setiap bulan.
(Baca: Kiprah Dolly dan Pieko Serta Kasus Impor Gula yang Menjeratnya)
Penetapan harganya, menurut aturan internal PTPN III dilakukan melalui kajian. Namun, pada praktiknya hanya melibatkan tiga komponen, yaitu Dolly, Pieko, dan Arum Sabil. Adapun pada Sabtu (31/8) lalu, ketiganya bertemu di Hotel Shangri-La, Jakarta.
Dalam pertemuan itu, Dolly meminta sejumlah uang kepada Pieko terkait persoalan pribadinya.
Direktur Pemasaran PTPN III I Kadek K Laksana kemudian menindaklanjuti permintaan uang tersebut. “Uang sebesar 345 ribu dolar Singapura diduga merupakan fee terkait distribusi gula,” kata Syarif. Empat orang lain yang ditangkap membantu pengiriman uang suap.
Sedangkan Arum Sabil, meski turut dalam pertemuan, sejauh ini tidak ditetapkan sebagai tersangka.