Marak Sengketa Sawit, Gapki Usul Kenakan Tarif Produk Pertanian Eropa

ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA
Buruh kerja memanen kelapa sawit di perkebunan kawasan Cimulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/9/2019). Pengusaha mengusulkan pemerintah mengenakan tarif untuk produk pertanian Uni Eropa.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
18/12/2019, 09.17 WIB

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengusulkan pemerintah mengenakan tarif untuk  produk pertanian Uni Eropa. Hal tersebut untuk menyiasati berbagai sengketa sawit yang dilakukan oleh Benua Biru.

"Kita harus memanfaatkan instrumen perdagangan untuk komoditas pertanian. Saya pikir kita bisa main-main dengan tarif," kata Joko di Wisma Bisnis, Jakarta, Selasa (17/12).

Selama ini, lanjut dia, Uni Eropa kerap menuduh produk sawit Indonesia sehingga pemerintah selalu memberikan penjelasan. Jika dibiarkan, Uni Eropa dapat terus berupaya melayangkan tuduhan serupa ke Indonesia.

(Baca: Soal Tudingan Biodiesel Uni Eropa, Kemendag Akui Kebijakan RI Lemah)

Oleh karena itu, dia menyarankan untuk mengenakan tarif pada produk Uni Eropa yang banyak diekspor, seperti produk pertanian. Dia juga menyarankan pengenaan tarif pada produk mesin.

"Komoditas pertanian itu bagi Indonesia kecil, tapi bagi Uni Eropa besar," ujar  Joko.

Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati menyatakan produk Uni Eropa yang banyak masuk ke Indonesia ialah mesin dan komponen otomotif.

Meski sudah ada usulan, Kementerian Perdagangan belum mempertimbangkan untuk mengenakan tarif pada produk-produk tersebut. Adapun yang telah dikaji saat ini untuk dikenakan tarif, adalah produk susu asal Eropa beserta turunannya (dairy products). 

"Kami tindaklanjuti rencana (pengenaan tarif) dairy products," kata Pradnya.

Dia menambahkan, Kemendag telah membahas rencana kenaikkan tarif produk susu Eropa dengan Komite Anti Dumping Indonesia dan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia. Meski begitu, pihaknya harus mengumpulkan data dari industri yang merasa dirugikan dengan pemberian subsidi oleh negara tersebut.

Seperti diketahui, Uni Eropa mengenakan bea masuk anti-subsidi  8%-18% untuk biodiesel Indonesia. Penyebabnya, Uni Eropa menilai pemerintah Indonesia memberikan fasilitas subsidi kepada produsen/eksportir biodiesel, yang mana itu dianggap melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pengenaan tarif  mempengaruhi harga ekspor biodiesel ke Benua Biru.

(Baca: Pemerintah Resmi Gugat Uni Eropa ke WTO Soal Diskriminasi Kelapa Sawit)

Tak hanya itu, Uni Eropa juga menerapkan kebijakan diskrimatif  untuk produk sawit dengan memberlakukan aturan arahan energi terbarukan atau Renewable Energy Directive II (RED II) sejak Mei lalu.

Aturan itu menyatakan, konsumsi bahan bakar nabati berisiko tinggi di Uni Eropa akan dibatasi bertahap mulai 2020-2023. Adapun CPO masuk dalam kategori minyak nabati berisiko tinggi.

Konsumsi bahan bakar nabati berisiko tinggi tidak boleh lebih besar dari tahun ini. Kemudian, mulai 2024, konsumsinya ditargetkan turun bertahap hingga mencapai nol di 2030. 

Reporter: Rizky Alika