Kementerian Perindustrian atau Kemenperin mencatat industri pengolahan surplus US$ 1,22 miliar atau setara Rp 20,4 triliun pada periode Januari-Februari 2020. Nilai ekspornya naik 10,93% menjadi US$ 21,76 miliar atau setara Rp 364 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu.
Secara detail, nilai ekspor industri pengolahan pada Februari 2020 tercatat sebesar US$ 11,03 miliar, naik 2,73% dibanding Januari 2020 (month to month) yang mencapai US$ 10,73 miliar. "Jika dibandingkan dengan Februari 2019 (year on year), kinerja ekspor industri pengolahan pada Februari 2020 naik 17,11%,” kata Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian Janu Suryanto melalui siaran pers, Senin (23/3).
Dia mengatakan sektor makanan menjadi penyumbang devisa terbesar industri pengolahan mencapai US$ 4,7 miliar. Angka tersebut naik dibanding periode yang sama 2018 sebesar US$ 4,3 miliar.
Lebih lanjut Janu mengatakan ekspor industri makanan didominasi oleh komoditas minyak kelapa sawit dengan kontribusi 61,41%. Nilainya sebesar US$ 1,51 miliar, naik dibandingkan Januari 2020 yang mencapai 60,62%.
Sektor lainnya yang menjadi penyumbang devisa yakni industri logam dasar yang nilai ekspornya menembus US$ 3,5 miliar. Kemudian, industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia dengan nilai US$ 1,9 miliar.
Selanjutnya, industri pakaian jadi US$ 1,4 miliar serta industri karet, barang dari karet dan plastik sebesar US$ 1,2 miliar. Adapun negara yang menjadi tujuan ekspor utama yakni Amerika Serikat (AS), diikuti Tiongkok, Singapura, Jepang dan India.
"Dilihat pertumbuhan secara tahunan, kelima negara tersebut mengalami lonjakan. AS naik 29,05%, Tiongkok 16,81%, Singapura 57,50, Jepang 12,65% dan India 4,83%," kata dia.
(Baca: Impor Februari Anjlok, Kadin Peringatkan Menipisnya Stok Bahan Baku)
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengemukakan pemerintah tengah memprioritaskan pengembangan sektor industri yang berorientasi ekspor. Upaya strategis itu dinilai akan membenahi masalah struktural ekonomi saat ini, yaitu defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan.
“Kontribusi sektor industri manufaktur hingga saat ini masih mendominasi terhadap capaian nilai ekspor nasional. Jadi, ini merupakan salah satu poin bagi pemerintah untuk memberikan perhatian khusus pada pengembangan sektor industri manufaktur,” kata Agus.
Kemenperin telah memetakan 15 sektor yang akan mendapat prioritas untuk meningkatkan ekspor. Seluruh industri prioritas tersebut yakni pengolahan minyak kelapa sawit dan turunannya, industri makanan, industri kertas dan barang dari kertas, industri crumb rubber, ban, dan sarung tangan karet, industri kayu dan barang dari kayu, serta industri tekstil dan produk tekstil.
Selanjutnya, industri alas kaki, industri kosmetik, sabun, dan bahan pembersih, industri kendaraan bermotor roda empat, industri kabel listrik, industri pipa dan sambungan pipa dari besi, industri alat mesin pertanian, industri elektronika konsumsi, industri perhiasan, serta industri kerajinan.
Adapun Neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 defisit sebesar US$ 3,2 miliar atau Rp 43,8 triliun. Meski begitu, nilanya lebih rendah dari tahun sebelumnya yang defisit US$ 8,7 miliar atau setara Rp 119,2 triliun.
Salah satu penyebab defisit perdagangan yaitu impor migas. Pada 2019, defisit perdagangan sektor migas mencapai US$ 9,3 miliar atau setara dengan Rp 127,4 triliun. Surplusnya sektor nonmigas, sebesar US$ 6,1 miliar atau Rp 83,6 triliun tak mampu mendongkrak neraca perdagangan tahun lalu.
(Baca: Terdampak Corona, Neraca Dagang Februari Diramal Surplus)