Ubah Paradigma, Sektor Migas Diharapkan Jadi Penggerak Ekonomi

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
Penulis: Miftah Ardhian
27/5/2016, 12.21 WIB

Anjloknya harga minya dunia berimbas pada menurunnya penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas). Kondisi ini dianggap sebagai momentum yang tepat untuk mengubah paradigma terhadap industri ini.

Pemerintah tidak bisa lagi memberlakukan industri hulu migas sebagai komoditas untuk menjadi andalan pendapatan negara, melainkan sebagai penggerak ekonomi nasional. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengatakan, perubahan paradigma ini memang tengah menjadi pembahasan hangat di lintas sektoral.

“Ini sedang dibicarakan dengan Kementerian Keuangan. Negara jangan terburu-buru mengambil hasil di hulu, tetapi menjadikannya berkontribusi terhadap perputaran ekonomi,” ujarnya saat menjadi pembicara kunci pada diskusi pleno II The 40th IPA Convention and Exhibition, yang berlangsung di JCC, Jakarta, (26/5). (Baca: Pemerintah Rancang Desain Baru Pengelolaan Hulu Migas)

Menurut Sudirman, ada beberapa faktor yang mendukung perubahan paradigma ini, diantaranya sektor migas yang saat ini sedang menghadapi realitas baru. Bukan hanya karena harga minyak dunia, penemuan berbagai sumber energi yang murah dan ramah lingkungan juga sangat berpengaruh pada industri migas saat ini.

Hal ini membuat industri migas semakin tertekan. Perlu dukungan pemerintah dan semua pemangku kepentingan agar industri ini bisa bertahan. Salah satunya, dengan mengubah paradigma industri migas yang bisa menggerakkan perekonomian nasional.

Anggota Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha mengatakan, perubahan paradigma ini sebenarnya sudah tercetus pada era pemerintahan sebelumnya. Namun, ide tersebut tidak kunjung terwujud akibat lambatnya proses reformasi kebijakan.

“Ini memang sulit untuk direalisasikan, harus diikuti dengan regulasi lainnya. Tapi apa yang terjadi setelah itu, kita (industri migas) masih melakukan business as usual (usaha seperti biasa),” ujarnya. (Baca: Pemerintah Akan Berikan Lima Insentif untuk Industri Hulu Migas)

Sementara itu, Ketua Komite Eksplorasi Nasional (KEN) Andang Bachtiar mengatakan perubahan paradigma dari basis pendapatan menjadi penggerak perekonomian masih sulit diimplementasikan. Alasannya, tidak semua pemangku kepentingan di pemerintahan satu suara dengan tujuan tersebut.

Sebagai contoh, dia pernah mengusulkan deregulasi aturan fiskal terkait Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. “Namun, aturan itu hanya direvisi bukan dihapuskan,” kata Andang.

Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengatakan hambatan lintas sektoral menjadi tantangan besar dalam mengubah paradigma industri migas. Makanya, butuh solusi konkret dari pemerintah. Setidaknya ada tiga hal penting dalam perbaikan tata kelola migas, yaitu struktur, proses, dan perilaku. (Baca: Regulasi Pemerintah Diharapkan Bisa Atraktif)

Perbaikan struktur dilakukan dengan reformasi fiskal, termasuk apakah perlu menerapkan sliding scale dalam PSC. Dengan skema ini porsi bagi hasil antara pemerintah dan operator bisa berubah disesuaikan dengan harga atau produksi. Sedangkan perbaikan proses meliputi sistem di Indonesia yang sangat birokratis dan politis seperti isu cost recovery yang dianggap merugikan negara. Alhasil, pengambilan keputusan akan hal ini menjadi lebih sulit.

Mengenai perbaikan perilaku, Christina memandang perlu adanya perubahan sistem perizinan. Misalnya dengan menggunakan sistem online digital untuk mempercepat proses persetujuan dan mendukung transparansi. Dia mengakui sudah ada perbaikan dalam perizinan, tapi masih diperlukan pengawasan yang lebih ketat. “Persoalannya, durasi operasional operatornya terbatas,” ujarnya. (Baca: Pemangkasan Izin Migas Terhambat Pembahasan RUU Migas)