Keluhan Acho Dialami Warga Apartemen Green Pramuka City Lainnya

Arief Kamaludin|KATADATA
Situs pembangunan apartemen Green Pramuka City di Jakarta, Selasa, (23/06).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
7/8/2017, 14.04 WIB

Komika Muhadkly MT alias Acho menghadapi gugatan dugaan pencemaran nama baik atas keluhan terhadap pengelolaan Apartemen Green Pramuka City yang disampaikan lewat blog pribadi dan Twitter. Berkas perkara Acho hari ini dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Beberapa warga Apartemen Green Pramuka City memberikan dukungan kepada Acho dengan mendatangi Kejaksaan. Mereka menyatakan merasakan yang sama dengan yang dikeluhkan Acho. "Suara dia itu suara kami semua. Kami mendukung dong karena kami sama dibuat seperti itu," ujar Lina Herlina (48), warga Green Pramuka di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (7/8).

Lina mengatakan pengelola dan manajemen Green Pramuka belum menyerahkan Sertifikat Hak Milik (SHM) kepada dirinya dan pemilik unit lainnya. Padahal, pengelola menjanjikan akan memberikan SHM pasca-serah terima pada 2015.

"Saya masuk sejak 2013 dan dijanjikan setelah dua tahun serah terima. Tapi sampai sekarang belum ada," kata Lina. Belakangan, pihak pengelola mengatakan akan memberikan SHM apabila pembangunan 17 tower selesai.

(Baca: YLKI: Acho Korban Kriminalisasi Pengembang Green Pramuka)

Lina mengatakan, penghuni juga keberatan dengan biaya Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) yang dianggap terlalu tinggi dan tidak transparan.

Warga apartemen Green Pramuka yang tak mau dipublikasikan namanya, HL (43),  menuturkan masalah lain yang diharapi penghuni mengenai aturan parkir dan proses pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

HL mengatakan pembayaran PBB saat ini melalui pengelola dengan pemberitahuan lewat pesan singkat. Padahal, seharusnya penagihan pembayaran PBB dilakukan pegawai Ditjen Pajak dengan menyertakan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

"Sampai sekarang mau bayar PBB enggak ada surat bukti yang sahnya ke mana. Bayarnya ke mereka," kata HL. (Baca juga:  Kisruh Apartemen Cempaka Mas Dibawa ke Istana)

Lina menambahkan, para penghuni telah membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS), namun oleh pengelola dianggap ilegal. "Pengelola Green Pramuka itu tidak mau ada P3SRS yang dibentuk warga, maunya dari pembentukan mereka," kata Lina.

Kuasa hukum PT Duta Paramindo Sejahtera Danang Surya Winata sebagai pihak penggugat Acho enggan memberikan komentar mengenai permasalahan yang disampaikan para penghuni.

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menetapkan Acho sebagai tersangka atas kasus pencemaran nama baik terhadap Apartemen Green Pramuka City pada 7 Agustus 2017. Acho ditetapkan sebagai tersangka atas laporan Danang Surya pada 5 November 2015.

Acho dilaporkan dugaan pencemaran nama baik lewat tulisan di blog pribadinya muhadkly.com pada 8 Maret 2015. Dalam tulisannya, Acho mengkritik terkait permasalahan yang terjadi di Apartemen Green Pramuka City.

Acho lewat artikel berjudul "Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya" mengemukakan berbagai persoalan mulai dari tempat parkir, peruntukan lahan hijau, sertifikat, IPL, dan pembayaran PBB.

"Tulisan ini hanya bermaksud menceritakan pengalaman saya tinggal di Apartemen Green Pramuka City, tanpa bermaksud ingin menghina atau menuduh pihak manapun. Semua yang saya sampaikan di sini adalah fakta dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan," tulis Acho di paragraf awal artikelnya.

(Baca juga:  Kisruh Apartemen Berlanjut)

Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, curhatan Acho dalam blognya adalah bentuk keluhan konsumen.  Apalagi, Tulus melihat, sebelum menuliskan pengalamannya melalui media sosial, Acho telah berupaya menyampaikan berbagai bentuk pengaduan secara langsung kepada pengembang, namun tak mendapat tanggapan yang memuaskan.

Tulisan Acho, kata  Tulus, dijamin oleh Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen  yang menyebutkan konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya. Keluhan itu dapat disampaikan melalui media massa dan media sosial.

“Yang penting yang disampaikan konsumen fakta hukumnya sudah jelas, bukan fiktif (hoax), yang berpotensi fitnah," ujarnya.