Ajukan PK Gunakan Putusan Buni Yani, Ahok Dinilai Akan Temui Kesulitan

KATADATA/CNN Indonesia/Safir Makki/POOL
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat proses persidangan.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
21/2/2018, 18.16 WIB

Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam kasus penodaan agama. Ahok menggunakan putusan sidang kasus Buni Yani yang terseret pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena mengedit video pidato Ahok.

PK Ahok itu tertuang dalam surat memori yang diajukan oleh penasehat hukumnya, Josefina Agatha Syukur serta advokat dan konsultan hukum pada Law Firm Fifi Lety Indra & Partners pada 2 Februari 2018. Ahok mengajukan PK atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 09 Mei 2017 yang memvonisnya dua tahun penjara karena dianggap terbukti melakukan penodaan terkait pidatonya di Kepulauan Seribu.

Anggota Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara Jootje Sampaleng mengatakan, Ahok mengajukan PK atas putusan tersebut karena dua alasan. Pertama, karena adanya kekhilafan hakim dalam mengambil putusan.

(Baca juga: Ajukan PK Tanpa Banding, Ahok Perlu Penuhi Beberapa Syarat)

Jootje menyebut alasan ini terkait dengan vonis 1,5 tahun terhadap Buni Yani yang dijatuhkan PN Bandung pada Selasa (14/11/2017). Majelis hakim PN Bandung menganggap Buni bersalah karena melakukan ujaran kebencian dan pemotongan video Ahok di Kepulauan Seribu.

"Kekhilafan hakim nanti dia bandingkan dengan putusan Buni Yani," kata Jootje ketika dihubungi Katadata, Rabu (21/2).

Selain itu, Jootje menyebut alasan kedua atas pengajuan PK Ahok karena dianggap ada kekeliruan yang nyata. "Hanya dua alasan yang dimungkinkan diajukan sesuai pasal 263 KUHAP," kata Jootje.

Dalam Pasal 263 KUHAP ayat 2 tersebut disebutkan alasan dapat mengajukan PK yakni 1) adanya keadaan baru 2) ada beberapa putusan yang saling bertentangan 3) putusan memperlihatkan adanya suatu kekhilafan atau kekeliruan nyata.

Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir, mengatakan Ahok akan menemukan kesulitan bila mengajukan PK hanya berdasarkan putusan dari vonis Buni Yani.

Muzakir yang pernah menjadi saksi ahli hukum dalam persidangan Buni Yani mengatakan, perkara Ahok dan Buni Yani merupakan hal yang terpisah. "Kasus Buni Yani karena menyebarkan potongan pidato Ahok, sementara perkara Ahok karena penodaan agama. Perkara pidana keduanya berdiri sendiri," kata Muzakir.

(Baca juga: Batal Ajukan Banding, Ahok Tulis Surat "Tuhan Tidak Tidur")

Muzakir juga menekankan pilihan Ahok yang telah menerima hukuman tanpa banding, membuat peluangnya lebih kecil dalam menggugat hakim. "Dengan mengajukan banding misalnya Ahok dapat menyatakan keberatan atas putusan hakim dan mengemukakan kesalahan kontruksi logisnya. Namun dengan tak mengajukan banding, dia telah menerima sepenuhnya legal reasoning atas putusan itu," kata Muzakir.

Sementara itu untuk menghadirkan novum atau bukti baru, menurut Muzakir, akan kesulitan. "Apakah dapat membuktikan siapa yang membohongi memakai Al Quran?" tanya Muzakir.

Juru bicara MA Abdullah mengatakan nanti hakim yang akan menentukan mengenai diterima atau tidaknya permohonan PK dalam perkara Ahok. Semua alat bukti itu akan diajukan di persidangan.

"Majelis hakim akan mempertimbangkan dengan menyidangkan pemeriksaan alat bukti sebagai peninjauan kembali," kata Abdullah.

Memori PK Ahok akan dibacakan dalam persidangan di PN Jakarta Utara pada Senin (26/2) sekitar pukul 09.00 WIB. PN Jakarta Utara sudah menunjuk majelis hakim yang akan memimpin sidang tersebut, yakni Mulyadi, Salman Alfaris, dan Tugianto.