Setya Novanto Sebut Kemendagri Punya Peran Dominan dalam Korupsi e-KTP

ANTARA FOTO/Reno Esnir
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (tengah) mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (22/3/2018).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
13/4/2018, 13.59 WIB

Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto membantah dirinya mengintervensi proses pembahasan anggaran dan pengadaan protek Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Setya Novanto menyebut Kementerian Dalam Negeri yang ketika itu dipimpin Gamawan Fauzi yang memiliki peran dominan, khususnya dari segi pembiayaan.

Novanto mengatakan, awalnya sumber pembiayaan untuk proyek e-KTP berasal dari Pinjaman Hibah dan Luar Negeri (PHLN). Pada akhir November 2009, Kemendagri kemudian mengusulkan agar pembiayaan dengan skema PHLN berubah menjadi APBN murni.

"Usulan tersebut datang dari pemerintah, melalui Mendagri Gamawan Fauzi dengan mengirimkan surat kepada Kementerian Keuangan dan Kepala Bappenas," kata Novanto ketika membacakan nota pembelaan (pledoi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (13/4).

Novanto mengatakan,  Kementerian Dalam Negeri kemudian melobi parlemen agar mendapat persetujuan perubahan pembiayaan anggaran. Lobi dilakukan Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman, dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang menemui mantan Ketua Komisi II DPR RI Periode 2009-2014 Burhanuddin Napitupulu.

"Fakta di atas menunjukkan bagaimana peranan pemerintah dalam hal mengubah penganggaran. DPR RI melalui Komisi II hanya sebatas memberi persetujuan," kata Novanto.

(Baca juga: Jaksa Tuntut Setnov 16 Tahun dan Cabut Hak Jadi Pejabat Publik)

Dalam pertemuan tersebut Irman menjelaskan manfaat proyek e-KTP. Burhanuddin mendukung proyek tersebut dan meminta Irman memberikan "perhatian" kepada para anggota Komisi II DPR yang lain.

Novanto pun mengatakan satu pekan setelah pertemuan tersebut Burhanuddin kembali menghubungi Irman agar datang ke ruang kerjanya. Pada pertemuan itu Burhanuddin menyampaikan kepada Irman bahwa Andi akan memfasilitasi dukungan anggaran.

Burhanuddin pun menyebutkan mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini telah menyepakati keterlibatan Andi.

Novanto mengatakan, Irman juga pernah menyampaikan kepada Sugiharto bahwa Andi lah yang akan memfasilitasi dukungan anggaran pemberian fee kepada Komisi II DPR. Novanto menyatakan, Andi merupakan orang dekat Diah.

Beberapa hari setelah pertemuan antara Burhanuddin dan Irman, Andi pernah datang ke Kantor Dirjen Dukcapil Kemendagri. Kedatangan Andi, kata Novanto, sesuai pembicaraan Burhanuddin dan Irman. Selanjutnya Andi diminta berhubungan dengan Sugiharto.

Novanto menyebutkan sampai pada pertemuan tersebut, dirinya belum terlibat atau bertemu dengan orang-orang yang terkait pembahasan e-KTP. Padahal, uraian pemberian fee kepada Komisi II DPR untuk proses e-KTP telah dibicarakan, baik oleh Burhanuddin, Irman, Sugiharto, Diah, serta Andi.

"Dengan demikian sangat jelas pemberian fee terjadi tanpa sepengetahuan saya," kata Novanto.

(Baca juga: Drama Perkara Setnov: Dari Saksi Bunuh Diri hingga Bantuan ke Demokrat)

Setnov menyatakan menyesali pertemuannya dengan Irman, Diah, mantan Kepala Bagian Keuangan Sekretarit Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto dan Andi Narogong di Hotel Gran Melia, Jakarta pada 2010 lalu. Menurut Setya Novanto, dari pertemuan tersebutlah dirinya terseret dalam pusaran korupsi proyek pengadaan e-KTP.

"Jika saja saya tidak bersedia ditemui Irman, Diah, Andi di Gran Melia, mungkin saya tidak terlibat jauh hingga menyeret saya di kursi pesakitan ini," kata Novanto.

Dia pun meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah, dan konstituennya di Nusa Tenggara Timur, pimpinan DPR, serta seluruh pengurus Golkar.

Dia menyatakan terpukul atas kejadian ini ketika dia seharusnya menjaga martabat dan nama besar DPR RI dan Golkar.Dia juga meminta maaf kepada istrinya, Deisti Astriani Tagor dan anak-anaknya, Dwina Micahela, Reza Herwindo, Gavriel Putranto, Giovanno Farrell.

"Sungguh begitu berat musibah dan cobaan yang menimpa keluarga kita. Kita adalah keluarga yang kuat dan insan pilihan Allah," kata dia sambil terisak.

Novanto pun meminta agar majelis hakim dapat memutus perkara seadil-adilnya mengingat umurnya yang sudah cukup tua dan faktor menurunnya kesehatan. Dia juga mengklaim tak pernah terlibat masalah hukum dan pernah menjadi Ketua DPR.

Selain itu, Novanto meminta agar majelis hakim tak mencabut hak politiknya. Dia juga meminta seluruh aset, baik tabungan, giro, deposito, kendaraan, properti yang diblokir dapat dicabut karena dianggap tak relevan dengan perkara e-KTP.

Dia juga meminta agar masyarakat tak lagi mencacinya sebagai koruptor. "Terpenting saya masih berharap agar masih bisa memperbaiki dan menata hidup saya kembali," katanya.

(Baca juga: Setnov Terima US$ 7,3 Juta, Jaksa Tak Sebut Aliran Uang ke Ganjar)

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Setya Novanto dengan hukuman penjara selama 16 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.

Jaksa juga menuntut hakim agar menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti US$ 7,45 juta dikurangi uang Rp 5 milliar yang sudah dikembalikan Setnov selambat 30 hari setelah putusan. Selain itu jaksa meminta hakim mencabut hak terdakwa menjabat sebagai pejabat publik selama lima tahun.

Jaksa KPK juga mengumumkan menolak memberikan status justice collaborator yang diajukan Setnov karena dianggap kurang kooperatif. Jaksa menjelaskan persyaratan seseorang menjadi justice collaborator harus secara signifikan membongkar kejahatan yang dibuatnya dan pelaku lainnya yang lebih besar, serta mengembalikan hasil seluruh kejahatannya.