Pemerintah menginginkan populasi wirausahawan naik hingga empat kali lipat pada 2030. Model bisnis potensial untuk mencapai target ini salah satunya adalah usaha sosial.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menuturkan, Indonesia mengalami bonus demografi pada 2030 - 2040. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan jumlah wirausahawan muda guna memperluas lapangan kerja.
"Pada saat bonus demografi, orang muda atau milenial mendominasi maka harus dipastikan jumlah pengusaha terus tumbuh, di dalamnya termasuk pelaku usaha sosial," katanya usai publikasi riset British Council - UNESCAP terkait usaha sosial, di Jakarta, Senin (17/12).
(Baca juga: Riset PBB Catat Mayoritas Usaha Sosial Bergerak di Industri Kreatif)
Bappenas menyatakan jumlah penduduk usia produktif (15 - 64 tahun) mulai 2030 lebih banyak daripada yang tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Jumlah usia produktif diprediksi mencapai 64% dari total populasi yang diproyeksikan mencapai 297 juta jiwa.
Selain itu, Indonesia membutuhkan lebih banyak wirausahawan sejalan dengan upaya mengentaskan diri dari kelompok middle income country. Kementerian Koperasi dan UKM sempat menyebutkan rasio wirausahawan kini mencapai 7% dari total penduduk.
(Baca juga: Menaker: 56 % Pekerjaan Berpotensi Hilang Akibat Disrupsi Teknologi)
Bappenas menilai usaha sosial dapat menjadi opsi untuk menggenjot pertumbuhan wirausahawan muda, sekaligus untuk mengemban misi pemberdayaan masyarakat. Riset Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan model bisnis ini potensial menyerap tenaga kerja usia produktif.
British Council dan United Nations Economic and Social Commision for Asia and the Pasific (UNESCAP) mempublikasikan temuan penelitian terkait praktik usaha sosial di Indonesia. Riset ini melibatkan 495 responden dari 27 provinsi, sebanyak 94,34% responden adalah organisasi yang memenuhi kriteria usaha sosial.
Kajian tersebut menyebutkan lebih dari 75% pemimpin usaha sosial berusia 18 - 44 tahun, mayoritas (46%) berumur 25 - 34 tahun. Penyerapan tenaga kerja di usaha sosial lebih inklusif mengingat 69% pekerja adalah perempuan.
"Daftar orang terkaya di Indonesia dulu (beberapa tahun lalu) dengan sekarang ya itu-itu saja, paling berganti ke keturunannya saja. Maka, kita butuh lebih banyak pengusaha muda. Mereka tidak perlu diatur ketat, mudahkan (regulasinya)," ucap Bambang.
(Baca juga: Bekraf: Penyerapan Tenaga Kerja Kreatif pada 2019 Akan Lampaui Target)
Meskipun jumlah usaha sosial terus berkembang tetapi pengusaha mengaku terdapat masalah yang terus membayangi terkait dukungan bisnis. Tumpang tindih regulasi menjadi salah satu kendala laten yang dirasakan sampai sekarang.
CEO PT Kampung Kearifan Indonesia (Javara) Helianti Hilman menyatakan, sebelumnya hampir seluruh produk pangan lokal yang difasilitasi Javara dijual ke luar negeri. Hal ini dilakukan lantaran sukar menembus pasar domestik akibat peraturan yang rumit.
"Peraturan itu jangan tumpang tindih. Kami lebih mudah dapat sertifikasi pangan di pasar Amerika dan Jepang. Kalau pemerintah tidak bisa bantu, ya jangan ganggu juga," kata dia ditemui dalam kesempatan yang sama.
Javara merupakan jenama usaha sosial di sektor pertanian. Sejak 2015, perusahaan mulai melakukan pemberdayaan petani lokal dan pelaku usaha kecil menengah. Petani yang terlibat kini berjumlah sekitar 54.000 orang.
(Baca juga: Bekraf Minta Pemda Longgarkan Pajak untuk Ekonomi Kreatif)
British Council dan UNESCAP melalui penelitiannya memberikan beberapa rekomendasi terkait kendala yang dihadapi wirausaha sosial di Indonesia. Tim peneliti menyatakan perlu penguatan dukungan hukum bagi para pengusaha dalam proses mendaftarkan usahanya.
Pemerintah juga diminta menciptakan peraturan yang ramah, serta membuat batasan jelas dalam klasifikasi usaha komersil dan usaha sosial. Selain itu, pemerintah perlu meninjau ulang opsi membuat entitas hukum yang sesuai dengan kebutuhan wirausaha sosial.
Sekretaris Eksekutif UNESCAP Armida S. Alisjahbana menyatakan, pemerintah berperan krusial untuk menghadirkan ekosistem kondusif bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. "Pergeseran praktik perusahaan normal ke model bisnis inovatif, seperti usaha sosial, berawal dari UKM," katanya.
UNESCAP mencatat, usaha kecil dan menengah (UKM) di kawasan Asia Pasifik mempekerjakan lebih dari 60% tenaga kerja serta menyumbang lebih dari 40% Produk Domestik Bruto (PDB). Tantangan utama bagi UKM sosial ialah menyelaraskan visi dan misi dengan penguatan finansial perusahaan.