Pebisnis Fesyen: Pajak Bikin Perdagangan Elektronik Lebih Tertib

Jakarta Fashion Week
Pagelaran busana yang digelar pada Jakarta Fashion Week (JFW) 2018 di Senayan City, Oktober 2017 lalu.
Penulis: Dini Hariyanti
18/1/2019, 12.26 WIB

Asosiasi perancang mode busana menyatakan, rantai distribusi berbagai produk fesyen kini jauh lebih efisien seiring terbukanya akses perdagangan secara daring. Sejalan dengan berbagai kemudahan yang ada, pebisnis selayaknya taat aturan termasuk soal pajak.

Presiden Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Poppy Dharsono mengakui bahwa usaha kreatif di bidang fesyen sebagian berskala mikro dan kecil. Mereka membutuhkan dukungan untuk mengembangkan bisnisnya.

"Tapi, juga memang harus dipajaki agar tertib. Kehadiran e-commerce sudah banyak memangkas jalur (distribusi) penjualan. Dan yang membeli juga jadi lebih banyak, ya seharusnya taat pajak," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (18/1). (Baca juga: Pelaku UMKM Minta Aturan Pajak E-Commerce Ditunda Satu Tahun

Sebelum perdagangan secara elektronik (e-commerce) marak, saluran distribusi produk fesyen melibatkan beberapa pihak sebelum bisa dijangkau konsumen. Setelah diproduksi, barang harus melewati setidaknya tiga lembaga penyalur lebih dulu.

Pertama-tama, produsen berinteraksi dengan agen untuk mendistribusikan barang kepada para pedagang besar. Kemudian barang singgah di pengecer, barulah selanjutnya dijajakkan kepada konsumen akhir.

Saluran distribusi yang panjang menimbulkan sejumlah biaya lantas dikompensasikan dalam harga jual. Kehadiran berbagai platform e-commerce mampu memperpendek rantai penyaluran barang. Produsen bahkan dapat langsung menjangkau end user.

"Dahulu, untuk (menjangkau) department store mungkin harus (biaya) ini itu. Meskipun (e-commerce) akan banyak diatur, masih tetap jauh lebih mudah saluran distribusinya," tutur Poppy. (Baca juga: Pengusaha Retail Sebut Aturan Pajak E-Commerce Seimbangkan Persaingan

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyadari perlu kesetaraan perlakuan di antara perdagangan elektronik dan konvensional. Oleh karena itu, per 1 April 2019 diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210/PMK.101/2018 tentang Perlakuan Pajak Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik E-commerce.

Penyedia platform e-commerce wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Aturan ini berlaku bagi platform yang menyediakan marketplace kepada pedagang/penyedia jasa. Selain itu, aktivitas penyerahan barang/jasa kena pajak melalui marketplace maupun cara lain juga dikenakan PPN.

APPMI menilai aturan tersebut merupakan kebijakan yang selayaknya ditempuh pemerintah. Pasalnya, perdagangan elektronik semakin marak pada tahun-tahun mendatang. "Lihat, sekarang Hero (retail konvensional) tutup. Metro dan lainnya pelan-pelan bisa tutup juga, pindah ke online," ucap Poppy.

(Baca juga: Pengusaha Retail Tutup Gerai karena Faktor Lokasi dan Kondisi Ekonomi

Pada sisi lain, Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) mengutarakan bahwa pelaku UMKM di sektor kreatif seperti fesyen maupun bidang lain tetap membutuhkan dukungan dan keberpihakan pemerintah. Mereka butuh insentif yang tepat.

"(Insentif) dalam bentuk pajak cocok juga agar harga jual bisa tetap murah. ini dapat merangsang pelaku UMKM (lebih banyak) mengarah ke pasar ekspor. Keberpihakan ini untuk UMKM bisa bangkit kembali," kata Ketua Umum Akumindo Ikhsan Ingratubun secara terpisah.

Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) sebelumnya menyatakan, insentif bagi usaha mikro, kecil, dan menengah sebaiknya tidak pukul rata. Pemerintah perlu memilah sesuai karakteristik bidang usaha dan tidak menyeragamkan menjadi satu konsep yang terlalu luas. (Baca juga: Bisnis Kreatif Perlu Formula Insentif Tersendiri