Sandiaga Janji Isu BPJS Selesai 200 Hari, Pengamat Nilai Cuma Retorika

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno  mengeluarkan KTP di penghujung acara, Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019). Debat ketiga yang hanya diikuti cawapres mengangkat tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial-kebudayaan
Penulis: Rizky Alika
Editor: Sorta Tobing
18/3/2019, 18.06 WIB

Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo, menilai janji calon wakil presiden Sandiaga Uno untuk menyelesaikan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam 200 hari hanya retorika semata.

Ia mengatakan, masalah itu bisa selesai cepat hanya dengan cara pemberian hibah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tapi itu pun harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang waktunya tak sebentar. “Program Sandi lebih normatif,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin (18/3).

Pada debat calon wakil presiden kemarin, Sandi juga mengatakan akan menyelesaikan masalah ini dengan melibatkan aktuaria dari Hongkong. Irvan menyebut, daerah administratif khusus Tiongkok itu tak memiliki asuransi sosial yang dananya berasal dari pembayar iuran. Hongkong menerapkan jaminan kesehatan yang didanai pajak, bernama National Health Service.

(Baca: Debat Cawapres 2019 Ramaikan Linimasa Twitter)

Pengamat BPJS Watch, Timbul Siregar, pun mengatakan hal yang sama. “Persoalan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak,” katanya. Karena itu, tak mungkin bisa selesai hanya dalam 200 hari.

Ia juga menilai kerja sama dengan sejumlah ahli di Hongkong sangat tidak perlu. Menurut dia, di negara ini banyak ahli yang mampu mencarikan solusi defisit BPJS Kesehatan.

(Baca: Debat Cawapres Tak Berpengaruh, IHSG Dibuka Positif )

Defisit BPJS Kesehatan selama ini terjadi karena pendapatan iuran dan dana kelolanya lebih kecil dari klaim yang harus dibayar. Kondisi ini diperparah dengan uang iuran yang belum naik sejak 2016. Padahal, Peraturan Presiden Nomor 19 dan 28 tahun 2016 mengatakan, dalam waktu maksimal dua tahun iuran program jaminan kesehatan harus dievaluasi.

Biaya pelayanan BPJS Kesehatan

Direktur Pelayanan dan Perluasan Kepesertaan BPJS Kesehatan Andayani Budi Lestari menjelaskan biaya pelayanan rumah sakit yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk 2017 lalu, rata-rata Rp 41.240 per orang. Sementara itu iuran rata-rata per orang hanya Rp 34.766. Artinya BPJS Kesehatan harus menutup kekurangan Rp 6.474 per orang.

Total peserta BPJS Kesehatan tahun lalu mencapai 203 juta orang, targetnya bisa mencapai 250 juta orang pada tahun ini. Penerima Besaran Iuran (PBI) atau peserta BPJS yang disubsidi pemerintah hanya Rp 23 ribu per orang.

(Baca: Ma'ruf Janjikan Optimalisasi JKN-KIS, Sandiaga Benahi BPJS Kesehatan)

Hasil perhitungan aktuaria dan rekomendasi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada 2016, seharusnya iuran tersebut mencapai Rp 36 ribu per orang. Kemudian peserta yang Bukan Penerima Besaran Iuran (BPBI) kelas II Rp 51 ribu, dari yang seharusnya Rp 63 ribu.

Masalahnya, BPJS Kesehatan tidak bisa begitu saja menaikkan iuran. Keputusan mengenai penyesuaian besaran iuran ini berada di tangan presiden. Sementara Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 yang diterbitkan September 2018 lalu, menetapkan besaran iuran PBI tidak naik.

(Baca: Dua Obat Kanker Usus Tidak Ditanggung, Dirut BPJS Bantah Imbas Defisit)

Faktor lain yang membuat pendapatan BPJS Kesehatan rendah adalah sekitar 54% peserta mandiri menunggak iuran. Kesadaran masyarakat untuk menjadi anggota pun minim. Kadang mereka baru ikut setelah masuk rumah sakit. BPJS Kesehatan mau-tak mau harus menanggung biayanya, meskipun peserta tersebut baru satu kali bayar iuran.

Defisit terjadi bukan hanya dari sisi pendapatan, tagihan klaim yang harus dibayarkan pun dianggap terlalu besar. BPJS Watch pernah mengungkapkan adanya kecurangan (fraud) dari pihak rumah sakit mitra BPJS Kesehatan.

Mereka diduga menggelumbungkan (mark up) biaya pelayanan rumah sakit dan menggandakan klaim peserta BPJS. Hal ini menyebabkan tagihan kepada BPJS Kesehatan membengkak.

Reporter: Rizky Alika