Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan divonis bersalah dalam kasus dugaan korupsi investasi Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Karen dengan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider empat bulan.
Vonis tersebut dijatuhkan akibat kebijakan Karen ketika itu berivestasi di Blok BMG Australia melalui Interest Participating (IP). Karena tak didasari kajian kelayakan, analisis risiko, serta rekomendasi dari Dewan Komisaris, produksi minyak mentah yang diperoleh Pertamina dari blok tersebut jauh di bawah perkiraan.
(Baca: Di Balik Putusan Tak Bulat Vonis Karen Soal Kerugian Negara)
Vonis terhadap Karen menambah daftar bos BUMN yang dijerat dugaan tindak pidana korupsi lantaran aksi korporasi yang dianggap merugikan negara. Sebelum Karen, terdapat beberapa kasus serupa, sebagai berikut.
1. Hotasi Nababan
Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan pernah terlihat dalam kasus sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 oleh PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) dari Thirdstone Aircraft Leasing Group. Kasus tersebut bermula ketika MNA menyewa dua pesawat Boeing seharga US$ 1 juta dari TALG dengan syarat refundable security deposit (RSD) pada 2006.
Hanya saja di tengah perjalanan, proses sewa-menyewa tersebut gagal. MNA pun menggugat TALG ke Pengadilan Distrik Columbia, Washington DC, Amerika Serikat dan memenangkannya. TALG lantas diminta mengembalikan uang yang telah diberikan oleh MNA.
Tak cukup sampai di situ, MNA juga mempidanakan petinggi TALG, yakni Jon Cooper dan Alan Massner karena tindak pidana penipuan. Meski memenangkan kasus di AS, Kejaksaan Agung tetap mempidanakan kasus sewa dua pesawat Boeing tersebut.
(Baca: Karen Divonis Salah, Pemerintah Evaluasi Prosedur Investasi Pertamina)
Hotasi yang menjabat Direktur Utama PT MNA periode 2002-2008, menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Awalnya, Pengadilan Tipikor Jakarta sempat membebaskan Hotasi dari seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 2013.
Namun di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menganulir putusan tersebut dan memvonis Hotasi selama empat tahun penjara pada 2014. Majelis hakim beranggapan bahwa Hotasi salah karena proses sewa-menyewa tidak melalui mekanisme letter of credit atau escrow account, melainkan tunai ke rekening Hume & Associates PC.
Selain itu, majelis hakim juga menilai proses penyewaan tidak sesuai prosedur yang berlaku di MNA, yakni melalui persetujuan pemegang saham melalui pengesahan RAK-Pj. Hotasi juga dianggap tidak teliti dan tak mengindahkan ketentuan Undang-undang. "Maka PT MNA mengalami kerugian yang besar, yaitu hilangnya PT MNA sebesar US$ 1 juta," kata majelis hakim sebagaimana tertuang dalam putusan kasasi.
2. Indar Atmanto
Kasus serupa lainnya yakni dugaan korupsi yang menjerat mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto. Kasus ini bermula ketika IM2 melakukan penandatanganan perjanjian kerjasama dengan PT Indosat yang merupakan induk usahanya dalam menggunakan frekuensi radio 2,1 GHz (3G) pada 24 November 2006.
Penggunaan bersama frekuensi tersebut menguntungkan IM2 karena tak harus membayar biaya frekuensi. Sebenarnya, praktik tersebut merupakan hal lumrah di bidang telekomunikasi.
Meski demikian, aksi korporasi IM2 dan Indosat ketika itu dianggap sebagai suatu pelanggaran. Sebab, IM2 telah menggunakan tanpa hak frekuensi 3G milik Indosat. Kerja sama selama periode 2006-2012 tersebut kemudian dinilai telah merugikan negara Rp 1,358 triliun.
(Baca: Satu Hakim Beda Pendapat, Sebut Eks Dirut Pertamina Tak Korupsi)
Hal ini sebagaimana audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Atas dasar itu, berdasarkan laporan dari Denny AK atas nama Lembaga Konsumen Telekomunikasi Indonesia (LKTI), Kejaksaan Agung mengusut kasus tersebut. Pada 8 Juli 2013, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Indar hukuman empat tahun penjara.
Sementara, IM2 dijatuhi pidana uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menambah hukuman Indar menjadi delapan tahun penjara, namun meloloskan IM2 dari hukuman pidana uang pengganti.
Di tingkat kasasi, MA tetap menghukum Indar selama delapan tahun penjara. Ada pun, IM2 dihukum membayar ganti rugi Rp 1,358 triliun kepada negara dengan tenggat satu bulan.
Pada Desember 2015, Indar mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Hanya saja, MA bergeming dan menolak PK Indar. Belakangan, Denny AK sebagai pelapor diketahui dihukum 16 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri karena terbukti melakukan pemerasan.
Selain itu, kasus ini disorot karena adanya putusan kasasi Nomor 263 /TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014. Putusan tersebut berisi penolakan atas kasasi yang diajukan Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara IM2. PTUN sebelumnya memutuskan hasil audit BPKP terkait kerugian negara senilai Rp 1,3 triliun dalam perkara IM2 tidak sah.
(Baca: Pledoi Karen, Keputusan Pertamina Akuisisi BMG Tak untuk Perkaya Diri)
3. Nur Pamudji
Lebih lanjut, ada kasus dugaan korupsi pengadaan BBM HSD yang menjerat mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) Nur Pamudji. Bareskrim Mabes Polri menjadikannya tersangka ketika menjabat sebagai Direktur Energi Primer PLN.
Kasus ini bermula ketika Nur menunjuk PT Trans Petrochemical Pasific Indotama (TPPI) sebagai pemasuk BBM HSD bagi PLN selama empat tahun pada 2010. Padahal, hasil penilaian tim verifikasi PLN menyatakan bahwa TPPI tidak layak memasok BBM HSD karena tengah bermasalah.
Dalam realisasinya, TPPI hanya mampu memenuhi pasokan BBM HSD untuk satu tahun dari jangka waktu yang sudah disepekati dalam kontrak. Lebih lanjut, kinerja TPPI melemah dan tak mampu lagi meneruskan perjanjian. Pamudji pun disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Saat ini, perkara yang menjerat Pamudji masih dalam tahap penyidikan.