Sejak namanya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap distribusi gula, Arum Sabil menjadi sulit dihubungi. Padahal, sebagai Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), ia cukup dekat dengan wartawan.
“Maaf, saya lagi di jalan,” hanya itu sepotong pesan Arum Sabil melalui WhatsApp, Kamis (5/9). Ia juga tak menjawab panggilan telepon.
Kasus ini mencuat saat KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin (2/9) lalu. Ada lima orang yang ditangkap, yakni pengelola Money Changer di Jakarta Freddy Tandou, orang kepercayaan pemilik PT Fajar Mulia Transindo Ramlin, pegawai Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Corry Luca, Direktur Pemasaran PTPN III dan Komisaris Utama PT KPBN I Kadek Kertha Laksana, dan Direktur Utama PT KPBN Edward S Ginting.
Dalam konstruksi kasus, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjelaskan bahwa Fajar Mulia Transindo merupakan perusahaan yang bergerak di bidang distribusi gula. Pada awal 2019, perusahaan milik Pieko itu ditunjuk menjadi pihak swasta dalam skema kontrak jangka panjang dengan PTPN III.
Dalam kontrak itu, perusahaan mendapat kuota impor gula setiap bulan. Penetapan harganya, menurut aturan internal PTPN III dilakukan melalui kajian. Namun, pada praktiknya hanya melibatkan tiga komponen, yaitu Dolly, Pieko, dan Arum Sabil.
(Baca: Kiprah Dolly dan Pieko Serta Kasus Impor Gula yang Menjeratnya)
Sabtu (31/8) lalu, ketiganya bertemu di Hotel Shangri-La, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Dolly meminta sejumlah uang kepada Pieko terkait persoalan pribadinya.
Direktur Pemasaran PTPN III I Kadek K Laksana kemudian menindaklanjuti permintaan uang tersebut. “Uang sebesar 345 ribu dolar Singapura diduga merupakan fee terkait distribusi gula,” kata Syarif.
Empat orang lain yang ditangkap membantu pengiriman uang suap. Sedangkan Arum Sabil, meski turut dalam pertemuan, sejauh ini tidak ditetapkan sebagai tersangka.
Arum Sabil telah lama dikenal sebagai perwakilan petani tebu yang kerap dilibatkan dalam pembuatan tata niaga gula. Selain menjabat Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu RI (APTRI), ia juga pernah menjadi Anggota Dewan Gula Indonesia (DGI). Meski, lembaga nonstruktural itu dibubarkan pada 2014.
Lahir di Jember pada 1966, Arum Sabil memulai karirnya sebagai tukang foto keliling. Setamat SMA, Arum ia kemudian menjadi pengamat hama dan penyakit tanaman di PTPN XXIII (kini PTPN XII).
(Baca: Dirut Ditahan KPK, Ini Profil PTPN III Penguasa Sejuta Hektare Lahan)
Hanya setahun di PTPN, pada 1987, Arum merantau ke Kalimantan dan bekerja di PT HAS Farm, sebuah perusahaan perkebunan swasta dengan komoditas tanaman kakao dan karet. Dari situ, Arum pindah kerja di PT Barito Pacific Timber (1990-1992) juga di Kalimantan.
Pada akhir 1992, Arum memutuskan kembali ke Jember. Ia mulai menjadi petani tebu dengan kebun seluas 0,5 hektare. Profesi lama sebagai tukang foto keliling dicoba dilakoninya kembali.
Dalam perjalanannya, Arum merasakan bahwa petani tebu telah diperlakukan secara tidak adil. Pola hubungan antara petani tebu dan pabrik gula bukan dalam kerangka kemitraan, tetapi bersifat subordinat.
Ia mencoba berkomunikasi dengan pejabat pabrik gula dan pemerintah daerah, namun tidak membuahkan hasil. Arum kemudian bergabung dengan tokoh petani tebu Jember, pada 1997. Selanjutnya, pada 1998, ia mengusulkan pembentukan Paguyuban Petani Tebu Rakyat (PPTR) yang merupakan cikal bakal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI).
(Baca: Terjerat Suap Distribusi Gula, Dirut PTPN III Serahkan Diri ke KPK)