Pasal Penghinaan Presiden pada RKUHP, Yasonna: Boleh Kritik Pemerintah

ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Menkumham Yasonna Laoly menjelaskan mengenai beberapa poin dalam RKUHP, salah satunya mengenai pasal penghinaan presiden.
Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Ekarina
20/9/2019, 21.07 WIB

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan aturan yang terdapat dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) pasal penghinaan terhadap presiden tak berisi larangan yang bertujuan membatasi kritikan kebijakan pemerintah. 

Pasal penghinaan itu menurutnya bisa dikenakan jika memiliki konteks penghinaan secara personal, merendahkan harkat dan martabat seseorang , termasuk presiden dan wakil presiden.

Hal itu sebagaimana yang tercantum dalam pasal 218 RKUHP ayat 1 yang berbunyi "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(Baca: Ada 14 Pasal Kontroversial, Jokowi Minta DPR Tunda Sahkan Revisi KUHP)

Sedangkan ayat 2, berbunyi:  "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri,".

Adapun pasal lain yang berkaitan dengan penghinaan antara lain terdapatpada Pasal 241, 247 atau 354.

Karena itu, dia menyatakan penghinaan pada penyerangan nama baik presiden atau wakil presiden, menista, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah bisa dikenakan pasal penghinaan. 

Namun, pasal tersebut merupakan delik aduan. "Seseorang bisa dipidana jika ada aduan tertulis maupun tidak tertulis dari presiden atau wakil presiden kepada penegak hukum," ujarnya.   

(Baca: Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Dituding Melawan Konstitusi)

Presiden Joko Widodo siang tadi telah meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pengesahan RKUHP karena ada sekitar 14 pasal yang harus ditinjau ulang.

Jokowi  berharap pengesahan RKUHP itu dilakukan DPR periode 2019-2024, setelah mendapat tambahan masukan dan usulan dari masyarakat melalui Menkumham. Revisi KUHP ini sudah dimulai sejak 2016 lalu namun kerap  tertunda.

 "Jadi saya kira kita mengatur keputusan ini secermat mungkin. Itu terkait penghinaan Presiden dan Wapres," ujar Yasonna.

Reporter: Fahmi Ramadhan, Antara