BRG Upayakan Alternatif Pembiayaan untuk Memperluas Restorasi Gambut

Katadata
Penulis: Tim Publikasi Katadata - Tim Publikasi Katadata
24/9/2019, 16.02 WIB

Badan Restorasi Gambut (BRG) melakukan kajian khusus untuk menemukan skema pendanaan restorasi lahan gambut di area peruntukan lain (APL) yang mencakup hutan produksi dan hutan lindung. Luas kawasan ini mencapai 688.752 hekatre. Melalui studi ini akan dibuat proyek percontohan terlebih dulu di beberapa provinsi.

Kepala BRG Nazir Foead mengatakan, restorasi lahan gambut perlu mempertimbangkan sisi keekonomian agar bank tertarik membiayai. Adapun, skema pendanaan restorasi gambut untuk APL yang sedang dikaji akan memperhatikan karakter wilayah, artinya tidak pukul rata untuk semua daerah.

“Restorasi kawasan konservasi bisa dari APBN, kawasan konsesi dari swasta. Bagaimana rangsang perbankan mau investasi untuk program restorasi di area selain ini? (Dari kajian BRG) kami ingin ada pilot project dulu di Kalimantan, Sumatra, dan Papua,” tuturnya menjawab Katadata, di Jakarta, Jumat (13/9/2019).

Salah satu hasil sementara dari kajian yang dilakukan BRG ialah terkait perhitungan satuan biaya dan kontribusi luasannya untuk restorasi gambut. Setiap pendanaan senilai US$ 1.000 memberi kontribusi restorasi hidrologis lahan gambut seluas 1,7 hektare.

Kajian khusus yang dilakukan BRG bertujuan mencari mekanisme-mekanisme pendanaan restorasi gambut yang lebih efektif dan berlanjutan, baik berupa hibah, investasi, pinjaman maupun campuran ketiganya. Sejauh ini, pembiayaan masih bersumber dari APBN serta hibah.

Kawasan peruntukan lain mencakup lahan yang lebih luas dibandingkan dengan kawasan konservasi sebesar 203.496 hektare. Tapi memang tidak seluas kawasan konsesi yang mencapai 1,78 hektare. Dengan demikian, total lahan gambut yang ditargetkan untuk direstorasi mencapai 2,67 juta hekatre dalam lima tahun.

Berdasarkan buku Cegah Kebakaran Hutan, Tiga Tahun Pelaksanaan Restorasi Gambut, BRG, terbitan Januari 2019 diketahui bahwa total kebutuhan dana untuk program restorasi ekosistem gambut di tujuh provinsi mencapai Rp 10,6 triliun. Nilai ini berlaku untuk periode 2016 – 2020.

Nazir mengutarakan lebih jauh, target 2,67 juta hektare lahan gambut yang akan direstorasi bukanlah tugas mudah. Jepang saja, dalam kurun waktu sepuluh tahun hanya menjangkau 300 hektare. Indonesia, yang notabene negara dengan area gambut tropis terbesar di dunia, agaknya butuh puluhan tahun untuk merestorasi lahan yang ada sampai pulih.

“Yang BRG lakukan dalam 3,5 tahun terakhir ini lebih ke arah program-program emergency mode. Masih penanganan spot atau per titik, belum melihat suatu kawasan secara satu kesatuhan. Kami masih fokus melakukan penyelamatan awal,” ucap Nazir.

Kebakaran yang terjadi di sejumlah bagian eskosistem gambut dalam dua bulan terakhir menunjukkan bahwa ekosistem gambut belum sepenuhnya pulih. BRG telah membangun sekat kanal dan sumur bor serta menimbun kanal untuk memastikan lahan gambut yang kering dan bekas terbakar bisa lembab kembali. Tapi, upaya ini akan sia-sia jika tetap terjadi pembukaan dan pembakaran gambut.

Tak hanya itu, BRG juga melakukan pemantauan terhadap ekosistem gambut yang menjadi wilayah kerjanya. Sistem pemantauan ini dinamakan Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut (PRIMS Gambut). Dengan begini, bisa dideteksi kebakaran dan pembukaan lahan gambut. Hasilnya akan dilaporkan kepada instansi atau pemangku kepentingan terkait untuk ditindaklanjuti secara hukum.

Sampai dengan penghujung 2018, BRG memfasilitasi dan mengkoordinasikan program pembasahan gambut di area nonkonsesi seluas 679.901 hektare. Angka ini setara dengan 76 persen total area restorasi gambut nonkonsesi yang mencapai 892.248 hektare. Sementara untuk area konsesi, total yang masuk dalam target restorasi gambut seluas 1,78 juta hektare. Angka ini terdiri dari kawasan konsesi kehutanan 1,22 juta hektare dan kawasan perkebunan 555.659 hektare.