Fenomena Penggadaian SK oleh Anggota DPRD Menuai Sorotan

ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI
Sejumlah pedagang mainan balon berada dekat Alat Peraga Kampanye (APK) Calon Legislatif (Caleg) yang terpasang di bangunan kawasan kota tua Ampenan, Mataram, NTB, Senin (11/2/2019).
6/10/2019, 17.15 WIB

Penggadaian Surat Keputusan (SK) pengangkatan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi fenomena yang kerap terjadi setelah Pileg, begitu juga tahun ini. SK digadaikan ke bank untuk mendapatkan pinjaman guna memenuhi berbagai kebutuhan, termasuk membayar utang terkait kampanye Pileg.

Anggota DPRD Riau Asri Auzar tak menampik fenomena tersebut. "Memang ada yang sudah cair, ada yang mau mengusulkan, ada juga yang masih dalam pikirannya mau gadaikan. Bagi yang cair yang mau bayar utang ya silakan," ucap legislator dari Partai Demokrat tersebut seperti dikutip Antara, Sabtu (6/10).

Ia mengatakan anggota dewan adalah manusia biasa yang memiliki beragam kebutuhan sehingga penggadaian SK ke bank untuk memperoleh pinjaman bukan suatu masalah. Apalagi, itu cara yang halal dan diperbolehkan oleh aturan. "Sepanjang tidak korupsi, sepanjang tugas tidak terabaikan sebagai legislatif. Tidak ada persoalan," ucapnya.

(Baca: Belanja Kampanye Peserta Pemilu 2019)

Sebelumnya, fenomena yang sama juga dikabarkan terjadi di beberapa daerah lain, termasuk DKI Jakarta. Adapun beberapa bank memang menyediakan kredit multiguna tanpa agunan, namun dengan syarat SK pengangkatan sebagai pegawai. Plafon yang bisa diberikan beragam ada yang dibatasi hingga Rp 500 juta, ada pula yang disesuaikan dengan kemampuan debitur.

Peneliti politik anggaran dari Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan fenomena gadai SK DPRD ini merupakan anomali dari demokrasi yang tengah coba dibangun. “Pemilu melahirkan biaya tinggi dan biaya tersebut ditanggung calon yang bersangkutan,” kata dia kepada katadata.co.id, Minggu (6/10).

Biaya tinggi ini dinilainya berisiko mendorong penyalahgunaan wewenang atau abuse of power saat anggota dewan yang dimaksud menjabat. Apalagi, bila gaji yang didapat sebagai anggota dewan tak bisa menutup biaya yang dikeluarkan selama kampanye dan pinjaman bank yang tengah diambil.

(Baca: Tudingan Kecurangan dari Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019)

Ia pun menilai harus ada mekanisme agar tanggungan biaya tidak terlalu besar. Setidaknya, partai bisa membangun sistem agar tidak terjadi gontok-gontokkan antarkader sendiri yang menyebabkan biaya meraup suara saat Pileg semakin besar. “Memang mesti dievaluasi yang lebih dalam bagaimana sistem terbuka (yang mendukung),” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya membangun mekanisme pendanaan partai yang terbuka dan akuntabel. Ini akan membuka keran-keran pendanaan, meskipun nantinya tetap harus ada batasan-batasan. Sejalan dengan itu, partai bisa memberikan batasan supaya kadernya tidak mengeluarkan biaya terlalu besar. Kebijakan partai semacam ini, menurut dia, sudah ada diterapkan di negara lain.

Adapun sejauh ini, di Indonesia, menurut dia, data dana kampanye saja masih sulit didapatkan. “Itu belum ada pengawasan ketat. Dari sisi partai belum diatur. Menarik, ini (mekanisme pendanaan partai) bisa jadi satu isu penting ketika Kemendagri merevisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada,” ujarnya.

Lebih jauh, ia mengatakan, bantuan dana dari pemerintah untuk parpol, tidak bisa dihindari, harus dihitung ulang. Menurut dia, besaran bantuan saat ini masih sangat kecil. Perlu ada kejelasan berapa dana yang diperlukan partai, dan berapa yang bisa dipenuhi pemerintah. Namun, ia menekankan, perlu ada syarat output bagi partai, misalnya reformasi dalam bidang tertentu.

“Diskursus ke depan. Bagaimana supaya pendanaan parpol tidak lagi menjadi ruang gelap. Sudah jelas, bantuan negara tutup biaya partai sekian, partai tinggal cari sekian,” kata dia.