ICW Sebut 10 Konsekuensi Buruk Jika Jokowi Tak Terbitkan Perppu KPK

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Indonesia Corruption Watch (ICW) memprediksi akan ada sepuluh konsekuensi negatif jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penulis: Ameidyo Daud
8/10/2019, 15.10 WIB

Indonesia Corruption Watch (ICW) memprediksi akan ada sepuluh konsekuensi negatif jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan konsekuensi pertama adalah penindakan kasus korupsi akan melambat. Kurnia mengatakan pengesahan UU KPK memunculkan Dewan Pengawas yang dikhawatirkan menghambat kerja KPK.

Konsekuensi kedua, KPK tidak lagi menjadi lembaga negara yang independen karena Pasal 3 UU KPK menyebut komisi antirasuah itu masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif. “Padahal dari awal pembentukan KPK diharapkan terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun,” kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Selasa (8/10).

(Baca: Gerindra Usul Jokowi Kaji Kembali Revisi UU KPK dengan Ketum Parpol)

Konsekuensi ketiga, Jokowi akan dianggap sebagai pemimpin yang terus melemahkan KPK. ICW menyoroti beberapa kasus mulai dari penyerangan Novel Baswedan,  pemilihan pimpinan KPK yang dianggap bermasalah, hingga pengesahan UU KPK.

Konsekuensi keempat, Jokowi akan dinilai ingkar janji pada Nawacita yang dijanjikannya 2014 lalu. Poin keempat Nawacita berbunyi, Jokowi dan Jusuf Kalla menolak negara lemah dengan reformasi sistem dan penegakkan hukum yang bebas korupsi.

“Publik dengan mudah menganggap Nawacita ilusi belaka jika Presiden tidak menyelamatkan KPK,” ujar Kurnia.

Konseuensi kelima, indeks persepsi korupsi Indonesia akan menurun jika KPK lemah. Saat ini ranking indeks persepsi korupsi RI berada di posisi 89 dari 180 negara dengan skor 38. ICW khawatir jika UU KPK diubah, maka berdampak pada peringkat indeks korupsi RI.

Konsekuensi keenam, iklim investasi terhambat lantaran tak adanya kepastian hukum. Apalagi pemerintah saat ini gencar membuka keran investasi dari luar negeri. “Bagaimana mungkin Indonesia memastikan investor tertarik saat praktik korupsi marak,” ujar Kurnia.

(Baca: Komite Ekonomi Harap Polemik UU KPK Tak Ganggu Bisnis dan Investasi)

Konsekuensi ketujuh, Jokowi akan dinilai mengabaikan amanat reformasi 1998. Pasal 3 ayat (3) TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 menyebut upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas dengan UU tindak pidana korupsi.

Konsekuensi kedelapan, kepercayaan 85 juta orang pemilih Jokowi saat Pilpres 2019 lalu akan hilang. Padahal, konstituen tentu berharap tidak ada kemunduran pemberantasan korupsi oleh Jokowi dalam lima tahun kedua pemerintahannya.

“Namun kondisinya terbaik, narasi penguatan yang didengungkan Presiden seakan luput,” ujar Kurnia.

Konsekuensi kesembilan, citra Indonesia di mata internasional akan buruk lantaran revisi UU KPK berlawanan Pasal 6 jo Pasal 36 United Convention Against Corruption (UNCAC). Dalam aturan tersebut, setiap negara harus punya badan anti korusi yang independen.

Konsekuensi kesepuluh adalah program pemerintah akan terhambat jika korupsi marak. Kurnia mengatakan kejahatan korupsi menyasar pangan, infrastruktur, energi, pendidikan, pajak, hingga kesehatan. Dengan kejahatan massif ini, tentunya diperlukan KPK yang kuat agar tidak ada uang negara diselewengkan.

“Namun, kondisi saat ini justru bertolak belakang karena KPK secara institusi dan kewenangan terlihat dilemahkan DPR dan pemerintah,” kata Kurnia.