Ketua MPR Sebut UUD 1945 Perlu Diamendemen

ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menilai UUD 1945 perlu diamendemen.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ratna Iskana
9/10/2019, 12.20 WIB

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta masyarakat terbuka terhadap rencana amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Menurut Bamsoet, amendemen UUD 1945 bukan hal tabu.

Dia bahkan menilai UUD 1945 perlu diamendemen. Apalagi, UUD 1945 terakhir kali diamendemen pada 17 tahun lalu.

“Apakah amendemen yang terakhir 2002 sampai sekarang  sudah memberikan ruang dan kesejahteraan? Sudahkah sesuai dengan harapan kita sebagai anak bangsa?” kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/10).

Meski demikian, Bamsoet memastikan pihaknya tak akan terburu-buru melakukan amendemen UUD 1945. Dia menyebut MPR bakal menyerap aspirasi dari masyarakat terlebih dahulu, baik yang pro maupun yang kontrak terhadap amendemen UU 1945.

“Kami juga menyerap aspirasi masyarakat lain yang tidak ingin adanya amendemen, karena yang ini sudah bagus,” kata Bamsoet.

Lebih lanjut Bamsoet mengatakan MPR bakal menyerap aspirasi semua pihak dalam tahun pertama masa jabatannya. Pada tahun kedua, MPR akan mulai mengidentifikasi hal-hal yang dibutuhkan negara terkait amendemen UUD 1945.

Baru pada tahun ketiga MPR akan memutuskan hal-hal apa saja yang memang harus diamendemen dalam UUD 1945. “Jadi saya pastikan bahwa kami di MPR tak grasah-grusuh dan kami akan cermat dalam mengambil keputusan yang menyangkut masa depan bangsa,” ujar Bamsoet.

(Baca: Wacana Amendemen UUD 1945 Ditentang)

Rencana amendemen terbatas UUD 1945 merupakan hasil rekomendasi dari MPR periode 2014-2019. Salah satu usulan amendemen tersebut adalah menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Dengan amendemen tersebut, MPR berpotensi memiliki wewenang menentukan GBHN yang harus dijalankan Kepala Negara. Dengan demikian, MPR bakal menjadi lembaga negara tertinggi di Indonesia. Sementara Kepala Negara hanya akan menjadi mandataris MPR.

Ketua Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi menilai isu amendemen tersebut akan memunculkan masalah baru karena MPR tak mungkin memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan Presiden. Sebab, Presiden saat ini dipilih secara langsung oleh rakyat, sementara MPR tidak demikian.

"Secara ketatanegaraan enggak mungkin itu dilakukan," kata Veri.

Very pun menilai wacana menghidupkan GBHN sudah tak relevan saat ini. Pasalnya, Indonesia telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Justru, dia menilai wacana menghidupkan GBHN dapat mengacaukan sistem yang sudah berjalan sekarang. "Kita sudah memiliki GBHN dengan nama dan format yang baru, yang berbeda dengan sistem yang lama," ucap Veri.

(Baca: Dukung Perppu KPK, Tokoh Senior Minta Jokowi Tak Gentar Pemakzulan)

Isu lain dalam amendemen UUD 1945 yang dipersoalkan Veri perihal presiden yang bisa menjabat lebih dari satu kali dengan syarat tidak boleh berturut-turut. Usulan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Ketua Fraksi Partai Nasdem di MPR Johny G Plate.

Jika amendemen terlaksana, maka Joko Widodo (Jokowi) bisa menjabat Presiden lebih dari dua kali selama diberi jeda memimpin. Veri menganggap isu dalam amendemen itu menafikkan berbagai persoalan yang muncul ketika Orde Baru.

Saat itu, Soeharto dapat menjabat sebagai Presiden tanpa batas waktu yang jelas. Hal tersebut lantas membuat pemerintah bertindak otoriter kepada rakyatnya.

Kondisi itu lantas memantik adanya gerakan reformasi pada 1998 dengan melengserkan Soeharto dan mengamendemen UUD 1945. "Kita seperti kacang lupa kulitnya. Kenapa kita harus kembali ke situ?" kata Veri.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah menambahkan, isu lain yang menjadi masalah dalam rencana amendemen UUD 1945 adalah pemilihan Presiden dilakukan oleh MPR. Menurut Maryati, isu tersebut dapat membawa Indonesia mundur dari semangat reformasi.

Maryati menilai amendemen UUD 1945 seharusnya dilakukan terhadap hal-hal yang lebih substansial. Salah satunya dengan memperkuat fungsi dan kewenangan DPD.

"Kalau amendemen agar Presiden dipilih oleh MPR, maka reformasi dikorupsi. kita akan set-back dari reformasi Indonesia," kata Maryati.

(Baca: Lika-liku Lobi Politik Bamsoet demi Amankan Kursi Ketua MPR)