Revisi UU KPK Dinilai Memicu Ketidakpastian Investasi

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Ilustrasi Gedung KPK. Indef menyebut minat investasi berkorelasi dengan tingkat transparansi suatu negara yang dinilai semakin mundur dengan revisi UU KPK.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Agustiyanti
10/10/2019, 15.19 WIB

Revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai menimbulkan ketidakpastian investasi di Tanah Air

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, revisi aturan tersebut membuat ketidakpastian perizinan usaha karena penyusun kebijakan semakin memiliki celah untuk menyalahgunakan wewenangnya (abuse of power).

"Tentu investor profesional malas. Tidak tertarik untuk investasi di Indonesia. Itu ada ketidakpastian kalau urus izin seperti apa," kata dia di Jakarta, Kamis (10/10).

Menurutnya, revisi tersebut akan memberikan dampak secara langsung terhadap minat inevstasi. Sebab, minat investasi berkorelasi dengan tingkat transparansi suatu negara.

 (Baca: Bank Dunia Pangkas Lagi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia)

Investor menganggap lembaga anti rasuah tersebut mampu meningkatkan kepastian hukum di Indonesia. Oleh karena itu, upaya pelemahan KPK akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. "Ada kekhawatiran yang berlaku di Indonesia ialah hukum rimba," ujar dia.

Meski begitu, ia menilai investor tidak memedulikan adanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) KPK atau tidak. Investor hanya mementingan adanya kepastian hukum dan regulasi.

Sementara, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Johnny Darmawan menilai kepastian payung hukum KPK harus segera ditetapkan. Sebab, pengusaha akan menunda dan menunggu waktu yang tepat untuk investasi (wait and see) hingga situasi dalam negeri kondusif tanpa maraknya demonstrasi.

"Demo kemarin menimbulkan ketidakstabilan politik. Pasti buat pengusaha juga mikir. Jadi selesaikan lah sebaik mungkin," ujar dia.

(Baca: Bank Dunia Proyeksikan Ekonomi Asia Timur dan Pasifik Makin Melambat)

Tranparansi menjadi salah satu indikator daya saing Indonesia yang memperoleh skor buruk dalam  Laporan Indeks Daya Saing Global yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF) 2019. Indonesia hanya memperoleh skor 38 dari skor tertinggi 100. 

Laporan tersebut juga menempatkan Indonesia pada peringkat 50 dari 141 negara. Posisi ini turun 5 peringkat dibanding tahun lalu, serta tertinggal dari Singapura, Malaysia dan Thailand seperti yang terekam dalam databooks di bawah ini.

Seperti diketahui, gelombang penolakan maupun dukungan penerbitan Perppu KPK sebelumnya banyak bermunculan dari sejumlah pihak. Tak hanya dari kalangan mahasiswa dan akademisi, sejumlah tokoh senior pun ikut menyuarakan dukungannya agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perppu KPK.

(Baca: Moeldoko: Perppu KPK bak Buah Simalakama bagi Jokowi)

Tokoh senior tersebut di antaranya terdiri dari Emil Salim, Albert Hasibuan, Mochtar Pabottinggi, Erry Riyana Hardjapamekas, Toeti Heraty, Ismid Hadad, Mayling Oey-Gardiner, Taufiequrahman Ruki, Franz Magnis-Suseno, Atika Makarim, Omi Komaria Nurcholis Madjid, Bivitri Susanti, Tini Hadad, Goenawan Mohamad, Mahfud MD, Nono Makarim, Butet Kertaradjasa dan Heny Soepolo.

Dukungan tersebut diberikan di tengah penolakan Perppu KPK oleh partai politik pengusung Jokowi. Bahkan, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh sempat menyinggung soal pemakzulan terhadap presiden jika Perppu dikeluarkan.

Para tokoh senior menjelaskan, Perppu merupakan hak konstitusional presiden sebagaimana diatur dalam pasal 22 UUD 1945. Apalagi dalam sistem presidensial, kedudukan presiden sangat kuat sehingga tak akan jatuh kecuali jika melakukan pelanggaran dan pidana berat.

(Baca: Pengamat Sebut Syarat Terbitnya Perppu KPK Sudah Terpenuhi )