Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunda pelaksanaan Undang-undang KPK hasil revisi. Alasannya, perubahan UU tersebut dianggap banyak menimbulkan permasalahan.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief mengatakan ada 26 pelemahan yang masuk dalam revisi UU KPK. Dia menjelaskan yang paling krusial adalah pemangkasan kewenangan komisioner dan keberadaan Dewan Pengawas KPK.
Selain dua itu, beberapa masalah lain adalah risiko kriminalisasi pegawai KPK akibat aturan yang tidak jelas, potensi penyidik berada dalam koordinasi Polri karena Pasal 38 dihapus, hingga berkurangnya kewenangan penuntutan.
“Ini tidak sesuai dengan yang dikatakan Presiden bahwa (revisi) untuk memperkuat KPK,” kata Syarief di Jakarta, Senin (14/10).
(Baca: Pengamat Sebut Syarat Terbitnya Perppu KPK Sudah Terpenuhi )
Syarief menyoroti adanya salah ketik dalam revisi mencerminkan UU KPK dibuat terburu-buru. Ini menjadi salah satu alasan KPK ragu menjalankan aturan yang baru itu. Dia juga berharap Jokowi segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK.
“Bagaimana (KPK) menjalankan tugas sedangkan dasar hukumnya sendiri banyak kesalahan,” ujar dia.
Ia juga menyayangkan DPR tidak melibatkan KPK dalam pembahasan revisi UU KPK. “Ini sama dengan membikin baju tanpa mengukur orang yang akan memakainya,” ujar dia.
(Baca: ICW Sebut 10 Konsekuensi Buruk Jika Jokowi Tak Terbitkan Perppu KPK)
Namun, Syarief juga menyatakan siap menjalankan kerja KPK dengan UU KPK hasil revisi meski mempertanyakan teknsi pemberlakuan payung hukum baru. "Tapi apa mungkin UU baru terlaksana sebelum dibentuk Dewan Pengawas,” ujar dia.
Ketua Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan tidak ada aturan yang dilanggar jika Presiden menerbitkan Perppu. Apalagi, derasnya tuntutan publik memenuhi syarat kegentingan untuk mengeluarkan Perppu.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012, Perppu dapat dikeluarkan jika ada kegentingan yang memaksa. Namun, gelombang penolakan atas revisi UU KPK juga terus muncul. Salah satunya adalah demonstrasi mahasiswa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu.
"Presiden mestinya memperhatikan kepentingan publik," kata Veri beberapa waktu lalu.