BNN melarang penggunaan daun kratom sebagai suplemen makanan dan obat tradisional mulai 2022. BNN memberikan masa transisi selama lima tahun, sebab tanaman kratom sebagai narkotika golongan I oleh Komite Nasional Perubahan Narkotika dan Psikotropika sejak 2017 silam.
Kepala Pusat Laboratorium Narkotika BNN, Mufti Djusnir menjelaskan latar belakang larangan penggunaan daun kratom. Sebab, tumbuhan tersebut dianggap lebih besar kerugiannya dibandingkan manfaatnya.
"Daun kratom mengandung senyawa-senyawa yang berbahaya bagi kesehatan sehingga jika digunakan dengan dosis rendah akan menyebabkan efek stimulan. Sementara penggunaan dalam dosis tinggi dapat menyebabkan efek sedatif," kata Mufti dalam sebuah diskusi di Pontianak, Selasa (5/11) lalu.
Mufti menambahkan, kandungan kratom 13 kali lebih kuat dibandingkan morfin. Jika terus menerus dikonsumsi, katanya, kratom akan menimbulkan gejala adiksi, depresi pernapasan, bahkan kematian.
Petani kratom di Kalimantan pun kecewa dengan pernyataan BNN yang mengategorikan tanaman yang menjadi mata pencahariannya itu ke dalam jenis narkotika.
(Baca: Kopi Gandja Jenderal Buwas)
"Apalagi yang diharapkan masyarakat jika kratom pun dilarang, karet murah, mencari pekerjaan semakin sulit, biaya hidup semakin tinggi, tentu kondisi seperti itu dapat menimbulkan gejolak sosial ekonomi di tengah masyarakat," kata tokoh masyarakat Kapuas Hulu, Rajuliansyah.
Sedangkan, Bupati Kapuas Hulu, Abang Muhammad Nasir meminta pemerintah pusat dan pihak terkait agar membuat regulasi yang jelas terkait tanaman kratom.
"Jangan buat masyarakat kami resah, karena memang masyarakat Kapuas Hulu salah satu penghasil terbesar tanaman kratom yang sudah menjadi mata pencaharian masyarakat," ujarnya.
Daun kratom, tanaman dengan nama latin Mitragyna speciosa memang dikenal sebagai tanaman herbal dari Indonesia. Selain di Kalimantan, tanaman ini juga tumbuh di beberapa daerah di Sumatera.
Nama tanaman ini jadi perbincangan di seluruh dunia karena kontroversinya di bidang kesehatan. Pasalnya, daun tanaman yang bagi warga Indonesia dianggap jadi obat herbal, di luar negeri dianggap sebagai narkotik.
"Saya mengonsumsi kratom dan tidak memiliki masalah atau efek samping. Daun ini juga bisa membantu meningkatkan stamina," kata Faisal Perdana, seperti yang dikutip dari AFP, beberapa waktu lalu.
Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menyebut, salah satu senyawa yang ditemukan dalam kandungan tanaman ini adalah opioid yang mampu memicu kecanduan hingga kematian.
Kratom termasuk dalam tanaman keluarga kopi (Rubiaceae) penghasil alkaloid penting seperti kafein. Tanaman tumbuh di daerah tropis dengan tinggi batang antara 4-16 meter.
(Baca: Ini Penyebab Autoimun, Penyakit yang Diderita Ashanty dan Gigi Hadid)
Daun kratom sudah lama dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Indonesia sebagai 'obat ajaib' segala penyakit, mulai dari kecanduan opioid, penghilang rasa sakit, hingga mengatasi kecemasan. Setelah dikeringkan, daun kratom biasanya dikonsumsi dengan cara diseduh seperti teh atau dalam bentuk kapsul.
Kratom mampu menstimulasi reseptor otak layaknya morfin, meski dengan efek samping yang lebih ringan.
Profesor bidang pengobatan darurat di University of Massachusetts Medical School, Erdward W. Boyer mengungkapkan catatan hasil penelitian yang mengungkap alasan tanaman bisa menjadi tanaman medis rekreasi.
Menurutnya, kratom bisa berperan sebagai stimulan serta membantu meningkatkan fokus. Sementara untuk penggunaan dengan dosis tinggi, kratom bisa menjadi obat penenang yang menghasilkan efek anti-nyeri layaknya candu.
Menurut Boyer, sensasi relaksasi itu terjadi karena kandungan aktif dalam kratom, yakni mitragynine dan 7-hydroxymitragynine, mengikat pada opioid receptors dalam tubuh manusia.
Pada Agustus 2016, Badan Antinarkotik AS (DEA) memasukkan kratom dalam daftar tanaman (bersubstansi) yang diawasi. Mereka mewaspadai penggunaan kratom yang menjadi tren di sejumlah kalangan, terutama anak muda.