Pernah Tak Setuju Revisi UU KPK, Syamsuddin Haris Jadi Dewan Pengawas

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Anggota Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris bersiap mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019).
Penulis: Hari Widowati
21/12/2019, 09.28 WIB

Lima orang anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) resmi dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, pada Jumat (20/12). Beberapa nama telah disebutkan Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Balikpapan, baru-baru ini. Namun, ada satu nama baru yang muncul, yakni Syamsuddin Haris.

Ia adalah Syamsuddin Haris, seorang peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). “Baru dikabari semalam,” kata Syamsuddin kepada Republika, ketika ditanya soal penunjukannya, Jumat (20/12).

Syamsuddin dikenal cukup vokal berpendapat mengenai Revisi Undang-Undang KPK. Ia pernah menyebut revisi UU KPK adalah ulah kartel politik yang diduga terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK. "Kami menyayangkan semua parpol mendukung usul revisi. Saya khawatir ini ada hubungannya dengan makin banyaknya politisi yang ditangkap dan menjadi target OTT KPK, ini sesuatu yang mengecewakan publik," katanya seperti dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (10/9).

Ia juga pernah menyebut Revisi UU KPK cacat prosedur karena disusun secara diam-diam, tergesa-gesa, dan tanpa partisipasi publik. "Bahkan, tanpa melibatkan KPK sebagai pemangku kepentingan utama yang diatur dalam UU itu," ujar Syamsuddin seperti dikutip Antara.

Namun, setelah dilantik menjadi Dewas KPK ia tak lagi merasa keberatan. “Saya pikir ini peluang bagus Presiden untuk menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi,” katanya.

(Baca: Arahan Perdana Jokowi ke Pimpinan Baru KPK: Permudah Investor Masuk)

Merantau di Jakarta Sejak SMA

Berikut ini profil singkat Syamsuddin Haris yang kami rangkum dari berbagai sumber. Pria kelahiran Bima, 9 Oktober 1957 ini memulai kariernya sebagai peneliti di Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN) sejak 1985. Kariernya berlanjut terus hingga di 2008 ketika ia dilantik sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI. Jabatannya ini ia emban hingga 2014.

Masa kecil pria ini dihabiskan di kota kelahirannya, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dilansir dari laman resmi LIPI, Syamsuddin terdaftar sebagai siswa di SDN 6 Bima dan SMPN II Bima. Barulah ketika ia menginjak bangku sekolah menengah, ia pergi merantau ke Jakarta. Namanya tercatat sebagai siswa di SMAN XVII Jakarta.

Syamsuddin melanjutkan pendidikan tingginya di jurusan Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta pada 1984. Tidak puas dengan gelar sarjana, ia lalu melanjutkan pendidikannya di program magister FISIP Universitas Indonesia pada 2002 sembari menjadi peneliti di LIPI. Ia kembali menekuni ilmu politik di FISIP UI untuk menempuh gelar doktor pada 2008.

(Baca: Resmi Bertugas, Dewan Pengawas Pastikan KPK Tak Obral Penyadapan)

Beberapa pengalamannya sebagai seorang peneliti adalah menjadi Koordinator Penelitian Pemilu di Indonesia pada 1995 hingga 1998. Pada 2002 hingga 2003, ia menjabat sebagai Ketua Tim Penyusun Revisi UU Otonomi Daerah versi LIPI.

Hasil penelitiannya itu dituangkannya dalam karya berupa 16 buku, 31 artikel dalam jurnal ilmiah, dan kontributor untuk 29 buku. Tak hanya menulis di jurnal ilmiah, ia juga menulis di blog pribadinya. Sembari meneliti, ia juga aktif mengajar di Pascasarjana Ilmu Politik di FISIP Unas dan Pascasajana Ilmu Komunikasi FISIP UI.

(Baca: Dewan Pengawas KPK Bakal Rancang Kode Etik Internal)

Syamsuddin juga aktif dalam kepengurusan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Pusat AIPI dari 2008 hingga 2011. Berkat produktivitasnya berkarya dan pangkatnya sebagai Pembina Utama/IV-e di LIPI, pemerintah menganugerahkan Satyalencana Pembangunan padanya. Bahkan bukunya yang berjudul Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman memperoleh penghargaan sebagai Buku Terbaik bidang ilmu-ilmu sosial dari Yayasan Buku Utama.

Penulis: Amelia Yesidora (Magang)