Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap enam calon hakim agung Mahkamah Agung (MA). Mereka adalah hakim senior yang memiliki latar belakang beragam, dari hakim militer hingga hakim pengadilan pajak.
Keenam calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial ke Komisi III DPR adalah Brigjen TNI Sugeng Sutrisno, Soesilo, Dwi Sugiarto, Rahmi Mulyati, H. Busra, dan Sartono. Sebelumnya, KY pernah mengajukan empat nama calon hakim agung tetapi ditolak oleh DPR. Berikut ini profil singkat dari keenam hakim yang dikumpulkan dari berbagai sumber.
1. Brigjen TNI Sugeng Sutrisno
Nama Sugeng Sutrisno tercatat sebagai hakim militer utama Pengadilan Militer Utama (Dilmitama) sejak Februari 2019. Kariernya di Pengadilan Militer dimulai sebagai Kepala Kepaniteraan (Katera) Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III daerah Surabaya pada 2008.
Salah satu keputusannya yang paling dikenang publik adalah memecat Komandan Kodim (Dandim) 1408/BS Makassar, Kolonel Inf Jefry Oktavian Rotty. Jefry tertangkap saat pesta narkoba dengan rekan-rekannya di sebuah karaoke di Hotel d'Maleo, Makassar. Ia juga mengonsumsi cairan blue safir yang dicampurkan ke dalam minuman keras.
Sugeng membuat keputusan yang berani dalam penafsiran hukum. Pasalnya, saat itu blue safir masih diperdebatkan apakah termasuk narkotika atau bukan. Blue safir, menurut penafsiran hukum Sugeng, adalah zat yang sama dengan narkotika golongan 1 karena mengandung Catinone.
Jefry dipecat dan dijatuhi hukuman pidana 10 bulan. Ia dikenai pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sugeng menyebut tindakan Jefry mencoreng TNI Angkatan Darat.
"Seharusnya Kolonel Jefry dapat memberi contoh yang baik dan menaati instruksi pimpinan TNI untuk memerangi narkoba, tapi terdakwa justru terlibat," kata Sugeng seperti dikutip Newsurban.id. Karier Sugeng terus meningkat hingga pada 2018 ia menjadi anggota Pokkimmiltama 2018.
(Baca: Sosok Tumpak Hatorangan yang Kini Pimpin Dewan Pengawas KPK)
2. Soesilo
Soesilo tercatat sebagai hakim tinggi Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin sejak 21 Januari 2019. Ia adalah alumni dari Universitas 17 Agustus 1945. Setelah meraih gelar sarjana hukum, ia melanjutkan pendidikan pascasarjananya di Universitas Lambung Mangkurat.
Dalam seleksi calon hakim agung di Komisi Yudisial (KY), Soesilo ditanya mengenai lembaga yang bertugas mengawasi hakim. Seperti dilansir di laman situs komisiyudisial.go.id, Soesilo menyebut KY dan MA melalui Badan Pengawas MA adalah pengawas hakim. Ia tak setuju jika ada kepala Pengadilan Tinggi yang tidak mengizinkan hakimnya hadir ketika dipanggil KY terkait isu teknis yudisial.
"Walaupun ada pernyataan dari wakil ketua MA, menurut saya tetap harus hadir untuk menentukan apakah laporan yang diperiksa termasuk teknis yudisial atau tidak," ujarnya. Ia juga berpendapat, hakim yang dipanggil harus bisa menjelaskan kepada KY mengenai laporan yang diminta.
Dalam kesempatan itu, Soesilo juga berpendapat tentang netralitas hakim di media sosial. Menurutnya, seorang hakim tak patut membuat status atau menyampaikan dukungan terbuka terhadap pihak-pihak tertentu dalam Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilihan Presiden (Pilpres). "Mereka harus netral," katanya.
(Baca: Profil Harjono, Eks Hakim MK yang Kini Jadi Dewan Pengawas KPK)
3. Rahmi Mulyati
Rahmi menjadi satu-satunya perempuan yang diajukan menjadi calon hakim agung. Anggota Panitera Muda Perdata Khusus di MA ini sebelumnya pernah dicalonkan sebagai hakim agung pada 2011. Ketika ia masih menangani kasus di PN Jakarta Pusat, ia membeberkan praktik suap yang dilakukan juru sita PN Jakarta Pusat pada 2007. Hal ini disampaikannya pada wawancara uji kelayakan calon hakim agung 2011 lalu.
Dalam wawancara dengan KY, Rahmi mengungkapkan perkembangan hukum yang pesat menjadi pekerjaan rumah bagi para hakim, contohnya terkait revolusi industri 4.0. Hukum positif bisa jadi belum mengatur hal tersebut karena terlambat mengikuti perkembangan masyarakat. "Solusinya dengan pengkajian, atau penemuan hukum dengan mendengarkan keterangan saksi ahli. Juga dengan melakukan perbandingkan dengan hukum yang lain," ujar Rahmi, seperti dikutip komisiyudisial.go.id.
Ia juga setuju dengan adanya spesialisasi bagi setiap hakim. Pasalnya, jumlah hakim terbatas sedangkan kasus yang ditangani banyak, seperti perkara pidana, perdata, tindak pidana korupsi, hubungan industrial, dan lain-lain. Jika hakim memiliki spesialisasi, keputusan hukum yang dihasilkan akan lebih matang dan berkualitas.
(Baca: Albertina Ho, Hakim Kasus Gayus yang Jadi Calon Dewan Pengawas KPK)
4. Dwi Sugiarto
Dwi adalah hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Denpasar. Sebelumnya, ia menjadi ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Namanya mulai dikenal publik ketika ia menangani kasus Yayasan Supersemar.
Dilansir dari Detik.com, Dwi menyita beberapa aset Yayasan Supersemar, berupa Gedung Granadi di daerah Kuningan pada Januari 2018, tanah di Desa Megamendung, Bogor seluas 8.120 meter persegi, dan rekening-rekening di bank. Total nilai aset yang disita mencapai Rp 4,4 triliun.
Pada saat menjadi hakim di PN Jakarta Pusat pada 2010, Dwi Sugiarto menangani kasus niaga royalti bisnis karaoke Inul Vista. Ia menolak gugatan para pencipta lagu ke Inul.
(Baca: Kejaksaan Sita Aset Yayasan Supersemar Senilai Rp 242 Miliar )
5. H. Busra
Lelaki kelahiran Padang, 24 Juni 1956 ini menjabat sebagai Ketua PT Agama (PTA) kota Kupang sejak awal 2019. Kariernya di PTA sudah tidak diragukan lagi. Dimulai di tahun 2007, ia dipercaya menjadi wakil ketua Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan.
Setahun berselang, ia menjadi ketua PA Jakarta Utara. Setelah empat tahun, ia dilantik menjadi hakim tinggi di PTA Medan tahun 2011 hingga akhirnya kembali ke PTA Jakarta. Agustus 2017 ia kembali ke kampung halmaan dan menjadi wakil ketua PTA Padang. Ia menjadi wakil ketua PTA Padang sampai Desember 2019 kemudian menjadi wakil ketua PTA di Pekanbaru.
Dalam wawancara dengan KY, Busra menyatakan ingin membuat aplikasi yang dapat mendeteksi proses administrasi suatu perkara. Pasalnya, selama ini masyarakat mengeluhkan lamanya proses putusan kasus di MA untuk sampai ke para pihak.
(Baca: Putusan MA yang Kontroversial dan Rugikan Jemaah Umrah First Travel)
6. Sartono
Sartono menjabat sebagai wakil ketua III Pengadilan Pajak Bidang Pembinaan dan Pengawasan Kinerja Hakim sejak 19 Agustus 2015. Jabatan ini dikukuhkan dengan Keputusan Presiden nomor 83/P Tahun 2015.
Dilansir dari laman resmi Kemenkeu, Sartono menjabat sebagai Kepala Bidang Kerja sama Pendataan, Penilaian, dan Pengenaan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Timur. Setelah itu, ia bergabung dengan Pengadilan Pajak sebagai hakim pada 2009 dan menjadi wakil ketua III pada 2015.
Permasalahan krusial yang dihadapi pengadilan pajak adalah perkembangan peraturan pajak yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan ekonomi. Misalnya, yang terkait dengan perkembangan e-commerce. "Pendapatan dari transaksi online itu sangat menguntungkan, nilainya triliunan. Sudah ada aturan yang mengatur lalu dicabut tanpa alasan. Adapun aturan yang dikeluarkan April 2019 hanya untuk mengejar pemain besar," kata Sartono.
Reporter: Amelia Yesidora (Magang)