Temuan BPK: Dewan Pengawas TVRI Merasa Setingkat Menteri

Katadata
Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat, (14/03). BPK menemukan 6 masalah di TVRI dalam laporan kinerja lembaga penyiaran tersebut tahun 2017-2019 yang diserahkan ke DPR (26/2).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Ameidyo Daud
26/2/2020, 22.03 WIB

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI. Salah satu temuannya yaitu Dewan Pengawas (Dewas) TVRI yang menafsirkan jabatannya setara Menteri.

Hal tersebut merupakan satu dari enam temuan masalah dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja TVRI periode 2017-Semester I-2019 yang diserahkan BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (26/2).

BPK mengatakan dalam permasalahan pertama, Dewas TVRI menafsirkan sendiri bahwa mereka adalah Pejabat Negara setingkat Menteri, Ketua atau Anggota KPK, dan BPK. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2005 Tentang TVRI, Dewas adalah jabatan non-eselon.

Karena merasa sebagai pejabat setingkat Menteri, dalam praktiknya Dewas mendapatkan tunjuangan transportasi Rp 5 juta per bulan. Selain itu, Dewas menggunakan kendaraan dinas yang setara dengan eselon I dan tiket penerbangan kelas bisnis.  "Ini yang terlalu ketinggian mereka menilai dirinya," kata Anggota BPK Achsanul Qosasi saat penyerahan laporan.

(Baca: Calon Dirut TVRI Makin Mengerucut, Eks Dirut Metro TV Masuk Daftar)

Masalah kedua, BPK menemukan bahwa ada penambahan wewenang Dewas TVRI atas pemberhentian Direksi TVRI. Dewan Pengawas menambahkan syarat pemberhentian Direksi melalui hasil penilaian kinerja seperti tidak memuaskan atau tidak lulus.

Auditor tinggi negara juga menemukan bahwa penilaian kinerja kepada Direksi cenderung subjektif. Salah satu subjektifitas Dewas seperti indikator-indikator yang pencapaian kinerjanya sudah 100%, namun Dewas memberikan nilai 1 dari nilai maksimal 4. 

Selain itu, BPK menemukan bahwa Dewas TVRI menambahkan 10 indikator penilaian yang tidak tercantum dalam kontrak manajemen.  "Dewas menilai bervariasi dan tanpa rumusan yang jelas," kata Achsanul.

Masalah ketiga, pemberhentian Direksi dengan syarat yang sudah diatur PP Nomor 13 tahun 2005 tidak dilakukan Dewas saat itu. Syarat yang bisa membuat Direksi dicopot yaitu, jika Direksi tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan, merugikan lembaga, dipidana dengan keputusan hukum tetap, atau tidak memenuhi syarat sebagai Direksi.

Selain itu, karena adanya penambahan wewenang itu, BPK menilai membuat kegiatan operasional terganggu dan menjadi lambat. "Intinya, Dewas membuat aturan yang tidak sesuai Undang-Undang dan tidak sesuai PP. Sehingga menimbulkan konflik antara Direksi dan Dewan Pengawas," kata Achsanul.

(Baca: Senin Depan, BPK Serahkan Hasil Audit Kinerja TVRI kepada DPR)

Temuan masalah keempat oleh BPK adalah TVRI tak punya Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sendiri. Ini mengakibatkan lembaga penyiaran tersebut tak bisa memenuhi kebutuhan PNS secara mandiri.

Masalah kelima, Dewas menambahkan aturan yang tidak masuk dalam PP 13 Tahun 2005 seperti mengangkan tenaga ahli, memantau tempat kerja, dan menetapkan besaran gaji bagi Direksi TVRI. Sedangkan temuan keenam adalah Direksi perlu mendapat persetujuan Dewas dalam melakukan perjalanan dinas baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Untuk BPK merekomendasikan, Direksi dan Dewas berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informartika (Kemenkominfo) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk merevisi PP Nomor 13 Tahun 2005.

Masalah di TVRI menjadi ramai setelah Helmy Yahya dicopot sebagai Direktur Utama oleh Dewas tanggal 16 Januari lalu. Salah satu alasan pengawas adalah tak adanya penjelasan soal pembelian siaran berbayar Liga Inggris


Reporter: Ihya Ulum Aldin