Berbagai negara telah menarik manfaat sejak bergabung dengan EITI. Salah satunya adalah menghapus kecurigaan yang kerap diarahkan pada industri ekstraktif.
Terletak di antara dua benua dan samudra, Asia Tenggara merupakan wilayah strategis yang menyimpan kandungan sumber daya alam melimpah. Kawasan ini tak hanya menghasilkan minyak dan gas, melainkan juga kaya akan hasil tambang dan mineral. Bahkan, beberapa negara menggantungkan pendapatannya dari sektor industri ekstraktif ini.
Pengalaman sejumlah negara menunjukkan pengelolaan sumber daya alam yang baik akan menjadi mesin penggerak bagi proses pembangunan dan membawa kemakmuran bagi masyarakat. Namun sebaliknya, tata kelola yang buruk membuka peluang terjadinya praktik korupsi dan perburuan rente, juga memicu berbagai persoalan, seperti kerusakan lingkungan maupun konflik sosial.
Dalam konteks ini, transparansi dan tata kelola yang baik di sektor ekstraktif menjadi sangat penting. Jika pendapatan dari sektor ini digunakan dengan benar dan berkelanjutan, maka kekayaan sumber daya alam ini akan menjadi kunci bagi peningkatan kesejahteraan rakyat masa depan. Sebab, dengan tata kelola yang baik dan transparan, publik bisa mengetahui bagaimana alur pendapatan sumber daya alam, pengelolaan dan penggunaannya. (Baca: Transparansi Teken Pemburu Rente dan Politik Uang)
Standar tata kelola industri ekstraktif yang baik dan berlaku di tingkat global sudah dirumuskan dalam Extractive Industries Transparancy Initiatives (EITI). Di kawasan Asia Tenggara, beberapa negara telah terdaftar sebagai anggota EITI, seperti Indonesia, Myanmar, Papua Nugini, Filipina dan Timor Leste. Sedangkan, negara penghasil migas, seperti Brunei Darussalam dan Malaysia belum menjadi anggota EITI.
Menurut pengamat ekonomi Faisal Basri, ada sejumlah alasan mengapa beberapa negara belum bergabung dengan EITI. Salah satunya adalah mereka belum menganggap penting penerapan transparansi di industri ekstraktif. Apalagi, bagi negara kerajaan yang cenderung tertutup seperti Brunei.
Padahal, bergabungnya satu negara dalam EITI akan memberikan banyak manfaat. Bukan hanya bagi pemerintah, melainkan juga bagi perusahaan dan masyarakat. Transparansi juga akan menghapus kecurigaan yang kerap diarahkan pada industri ekstraktif. Beragam manfaat lainnya juga telah dirasakan oleh sejumlah negara yang telah bergabung dengan EITI.
Contohnya di Indonesia. Adanya transparansi membuat persoalan yang menggelayuti industri ekstraktif bisa diurai. Selama ini, persoalan rumitnya perizinan dan tumpang tindih aturan antara pemerintah pusat dan daerah kerap menjadi sorotan investor. Jika masalah ini bisa segera diatasi, maka iklim investasi diyakini akan membaik dan industri akan lebih bergairah.
Transparansi juga menjadi semakin penting lantaran kontribusi sektor ekstraktif cukup besar bagi penerimaan negara Indonesia. Menurut laporan EITI 2014, penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi mencapai Rp 341 triliun. Sedangkan untuk sektor mineral dan batu bara mencapai Rp 37 triliun atau 10 persen.
Adanya transparansi akan membuat siapapun bisa mengetahui bagaimana aliran dana dari perusahaan hingga ke pemerintah pusat maupun daerah. Sebab, dengan bergabungnya Indonesia ke EITI pada 2010, perusahaan ekstraktif wajib melaporkan jumlah pembayarannya ke pemerintah, baik berupa bagi hasil, royalti maupun pajak. Sedangkan, instansi pemerintah melaporkan penerimaan yang diperoleh dari perusahaan.
Sejauh ini, EITI telah membantu perbaikan koordinasi antara kementerian terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. EITI juga menjadi platform diskusi antara industri dan pemerintah, serta berperan penting untuk membangun kepercayaan masyarakat.
Sepanjang keikutsertaannya dengan EITI, Indonesia sudah menghasilkan empat laporan, yaitu tahun 2009, 2010-2011, 2012-2013 dan 2014. Laporan itu sekaligus membuktikan bahwa Indonesia berupaya memenuhi ketentuan yang diatur EITI. Indonesia juga tercatat menjadi negara pertama di ASEAN yang memenuhi standar inisiatif EITI.
Selain Indonesia, Filipina juga bertekad meningkatkan transparansi dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Filipina merupakan produsen nikel, emas dan tembaga. Bahkan, produksi nikel negara ini merupakan terbesar di dunia pada 2014. Menurut laporan EITI, industri ekstraktif Filipina menyumbang 4 persen pendapatan pemerintah dan 11,5 persen ekspor. Mayoritas pendapatan berasal dari minyak dan gas, sisanya berasal dari pertambangan, termasuk batu bara.
Seperti halnya Indonesia, Filipina juga menghadapi sentimen anti pertambangan yang cukup besar, terutama di level provinsi. Hal ini disebabkan adanya dampak lingkungan dan pemindahan masyarakat adat akibat kegiatan pertambangan. Selain itu tumpang tindih peraturan pemerintah pusat dan lokal juga masih terjadi.
Filipina menjadi negara anggota EITI sejak 2013. EITI menjadi alat dialog antar pemangku kepentingan dan sumber informasi kebijakan, khususnya tentang pertambangan. Pemerintah Filipina melakukan reformasi tambang dengan melakukan audit kepada semua perusahaan tambang terkait aturan lingkungan dan pengeluaran sosial.
Negara lainnya, Papua Nugini sangat tergantung pada sektor ekstraktif. Papua Nugini merupakan negara penghasil migas, emas, nikel dan perak. Negara ini merupakan produsen emas terbesar ke 12 di dunia. Namun produksi minyaknya cukup rendah lantaran banyaknya lapangan migas yang sudah menua.
Di negara ini, pertambangan juga memicu konflik sosial karena dampak dari kerusakan lingkungan. Masalah lainnya adalah kurangnya kejelasan pembayaran pemilik lahan dari operasi ekstraktif, serta persoalan persepsi korupsi di sektor ini.
Sejak bergabung menjadi anggota EITI sejak 2013, Papua Nugini kemudian memperbaiki transparansi tata kelola industri ekstraktif. Laporan EITI 2014 mencatat peningkatan kualitas data dari otoritas Sumber Daya Alam, laporan konsolidasi pembayaran dan penerimaan pendapatan terkait proyek LNG juga terkonsolidasi. Padahal, sebelumnya pencatatan aliran pendapatan sektor ekstraktif terserak di berbagai instansi. Hanya pajak penghasilan dan dividen perusahaan yang tercatat dalam anggaran negara.
Timor Leste mungkin bisa menjadi salah satu contoh ideal mengenai bagaimana pengelolaan sumber daya alam suatu negara. Kendati umur negara ini masih baru, namun pengelolaan industri ekstraktifnya lebih maju di kawasan Asia Tenggara. Negara ini memang lebih dahulu bergabung dengan EITI, yaitu pada 2007.
Timor Leste sangat bergantung pada minyak dan gas bumi. Menurut laporan EITI terbaru (2013), sektor minyak menyumbang 76 persen PDB negara dan 98 persen ekspor pada 2013. Timor Leste juga menerima US$ 3 miliar dari sektor migas. Saat ini produksi migas menurun akibat terbatasnya kegiatan eksplorasi.
Yang berbeda dari negara sekitarnya, Timor Leste memiliki Petroleum Fund yang menyimpan pendapatan dari sektor minyak. Pada Maret 2016, jumlahnya mencapai US$ 16,5 miliar. Dana ini disebutkan dalam website Petroleum Fund yang berisi laporan triwulanan mengenai pendapatan dan keseluruhan status dana, dan laporan tahunan yang mencakup alokasi anggaran.
Petroleum Fund ini dibentuk untuk mengelola pendapatan dari minyak bumi agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk masa depan. Timor Leste juga memiliki portal berisi data sektor ekstraktif dan laporan rutin lainnya. Portal itu mengimplementasikan platform EITI dengan tingkat transparansi dan akuntabilitas yang lebih luas di negara ini.
Pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik ini tercermin dalam Resource Governance Index (RGI) tahun 2013. Timor Leste berada di peringkat 13 dengan skor 68 atau di atas Indonesia yang berada di urutan 14 (skor 66). Dana minyak Timor Leste juga dikelola dengan baik karena dalam Governance of Natural Resource Fund, Timor Leste memperoleh angka 83 (dari angka tertinggi 100) dan berada di lima besar terbaik.
Dengan tata kelola sumber daya ekstraktif yang baik dan transparan tersebut, tidak mengherankan jika mantan Managing Director Bank Dunia, Sri Mulyani menyebut Timor Leste merupakan negara ketiga di dunia dan menjadi pertama di Asia Pasifik yang mencapai status compliance dari EITI.
Faisal Basri pun memuji cara Timor Leste mengelola kekayaan sumber daya alamnya dengan banyak menabung untuk masa depan negaranya. Tabungan ini juga diperlukan untuk mengantisipasi turunnya pendapatan kala harga komoditas anjlok.
Sayangnya, menurut Faisal, cara Timor Leste belum dilakukan di Indonesia. Saat harga komoditas melambung, pendapatan dari sumber daya alam habis dibelanjakan dan tidak ada yang ditabung. “Namun tatkala harga komoditas anjlok, pemerintah menambah utang karena tak memiliki tabungan,” kata Faisal.