Nasib industri hulu minyak dan gas bumi (migas) tahun 2019 diprediksi akan lebih baik dari tahun ini. Penyebabnya adalah perbaikan harga minyak mentah.

Direktur Eksektufi ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan faktor yang membuat industri minyak dan gas bumi (migas) lebih baik adalah membaiknya pertumbuhan ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi ini akan menyebabkan permintaan minyak meningkat.

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan mendorong harga minyak naik ke level yang lebih baik. Sehingga menggairahkan iklim investasi. "Ada harapan lebih baik untuk tahun 2019," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (31/12).

Mengacu data Bloomberg yang melibatkan 24 analis, harga Brent tahun 2019 bisa bertengger di level US$ 70 per barel. Adapun harga Brent, Senin (12/31) sebesar US$ 53,79 per barel untuk kontrak Maret 2019.

Sementara itu perkiraan untuk West Texas Intermediate adalah US$61,13 per barel pada 2019. Adapun harga WTI, Senin (12/31) sebesar US$ 45,81 per barel untuk kontrak Februari 2019."Pasokan dan permintaan global akan mencapai keseimbangan yang baik di tahun 2019." kata Michael Tran, ahli strategi komoditas di RBC Capital Markets LLC.

Namun, prospek hulu migas yang lebih baik di tahun 2019 itu bisa terhambat sejumlah faktor. Salah satunya terkait regulasi sektor migas yang hingga kini belum rampung. Revisi UU Migas yang menjadi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini sebenarnya sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2011, tapi tak kunjung selesai.

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya pesimistis regulasi anyar itu dapat rampung tahun 2019. "Di tahun politik 2019 sulit harapkan ada revisi UU besar seperti migas. Paling baru tahun 2020 terlaksana," kata Berly.

Menurut Berly, UU Migas yang baru menjadi penting karena Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan keberadaan BP Migas. Lembaga itu kini menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Jika UU Migas yang baru terus berlarut akan berdampak ke investasi hulu migas. "Fraser institute dan survey PWC menempatkan indonesia di posisi bawah dalam daya tarik investasi migas," kata Berly.

Seperti diketahui, investasi migas sejak 2014 hingga 2017 terus turun. Tahun 2014, investasinya bisa mencapai US$ 21,7 miliar, tahun 2015 sebesar US$ 17,9 miliar, tahun 2016 sebesar US$ 12,7 miliar dan 2017 mencapai US$ 11 miliar.

(Baca: Wood Mackenzie Prediksi Harga Minyak Tahun Depan Stabil US$ 65-70)

Sementara itu, hingga kuartal III tahun 2018, investasi migas hanya US$ 8 miliar. SKK Migas menargetkan investasi hulu migas sampai akhir tahun ini hanya 79% dari target atau sekitar US$ 11,2 miliar dari target sepanjang tahun ini sebesar US$ 14,2 miliar.

Reporter: Anggita Rezki Amelia