Pelaku industri hulu minyak dan gas bumi (migas) menyambut positif rencana pemerintah memberikan keringanan pajak pada skema kontrak gross split. Jika kebijakan itu benar-benar direalisasikan, mereka menilai bisa menggairahkan iklim investasi hulu migas

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin mengatakan sudah seharusnya perpajakan di industri hulu migas seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ditanggung pemerintah. "Saya anggap kebijakan ini sebagai pengurangan disinsentif, pastinya menarik," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (24/1).

 Vice President Exploration PT Saka Energi Indonesia Rovicky Putrohari juga menilai rencana pengurangan pajak itu menarik bagi investor. Jadi, aturan itu harus dituangkan dalam aturan, seperti Peraturan Menteri atau lainnya.

Dengan dituangkan ke aturan itu bisa menjadi payung hukum dan memberi kepastian bagi kontraktor. "Yang lebih penting adalah perlu adanya kepastian hal ini dalam aturan yang mengikat," kata Rovicky.

Adapun target investasi hulu migas tahun ini mencapai US$ 14,79 miliar. Sementara itu, realisasi tahun lalu US$ 11,99 miliar atau hanya 90% dari target. Meski di bawah target, capaian itu lebih tinggi dari investasi tahun 2017 sebesar US$ 10,2 miliar.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan meski bagus untuk iklim investasi, pemerintah harus menghitung risiko dari kebijakan tersebut. "Yang perlu disadari pemerintah, kebijakan tersebut juga memiliki konsekuensi penerimaan negara dalam jangka pendek akan berkurang," ujar dia.

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), target penerimaan negara tahun 2019 mencapai US$ 17,51 miliar. Sedangkan, penerimaan negara yang belum diaudit sepanjang 2018 sebesar US$ 17,50 miliar. Itu di atas dari tahun sebelumnya yang hanya US$ 12,71 miliar.

Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan rencananya untuk meringankan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam skema kontrak gross split. Saat ini, PBB untuk gas sekitar 17,5% dari harga minyak Indonesia (ICP). "Pajak PBB term-nya lagi dinegosiasi," kata dia di Jakarta, Rabu (23/1).

Akan tetapi, Arcandra enggan merinci keringanan pakak tersebut. Pembahasan pajak itu melibatkan Kementerian Keuangan.

(Baca: Prospek Hulu Migas 2019: Asa dari Tren Positif Harga Minyak & Regulasi)

Meski begitu, Arcandra mengatakan pengurangan pajak berlaku untuk blok eskploitasi. Sementara blok eksplorasi tidak dikenakan pajak selama dalam kegiatan eksplorasi.