Pemerintah masih berdiskusi dengan Inpex Coorporation terkait draf revisi rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) Blok Masela. Poin utama yang didiskusikan yakni soal biaya pengembangan.

Kepala Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menjelaskan, biaya pengembangan memengaruhi keekonomian, dan butuh atau tidaknya insentif. “Kemudian, splitnya harus bagaimana untuk bisa ke tingkat keekonomian," ujarnya di Kementerian ESDM, Senin (25/3).

Menurut dia, bila biaya pengembangan terlalu besar, pemerintah tidak bisa memberikan insentif yang terlalu tinggi. Adapun insentif yang dimaksud bisa berupa keringanan pajak hingga pembagian split yang lebih besar kepada investor. “Sewajarnya saja," ujarnya.

(Baca: Proyek Blok Masela Butuh Lahan Luas, Tanah Sudah Dibebaskan Bisa Batal)

Dwi memastikan pengembangan Blok Masela tetap menggunakan skema kilang darat (onshore). Pemerintah meyakini biaya pengembangan dengan skema ini lebih murah dibandingkan skema laut (offshore). Skema darat juga dipilih lantaran pemerintah mengharapkan adanya dampak berganda ke perekonomian masyarakat.

Adapun sebelumnya, Dwi mengatakan pihaknya berupaya agar biaya pengembangan bisa di bawah US$ 20 miliar. Meskipun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memperkirakan biayanya bisa mencapai US$ 20 miliar.

(Baca: Demi Dongkrak Cadangan, SKK Migas Targetkan Pengembangan 45 Lapangan)

Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa pembangunan kilang gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) Blok Masela menggunakan skema onshore, pada Maret 2016. Keputusan ini berbeda dengan usulan Inpex yang menginginkan skema offshore. Perubahan ini berujung pada tertundanya pembangunan kilang tersebut.

Adapun dengan skema darat, pemerintah menaksir kilang tersebut bisa beroperasi pada 2027. Meskipun, Dwi sempat menargetkan kilang bisa beroperasi lebih cepat yakni pada 2025.