Pemerintah mengambil dua kebijakan di bidang migas untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai kebijakan ini bakal berdampak besar dan segera.
Dampak kebijakan ini akan besar lantaran mempengaruhi dua neraca sekaligus. “Neraca perdagangan dan neraca pendapatan primer, yang keduanya memperbaiki neraca transaksi berjalan,” kata Piter kepada katadata.co.id, Sabtu (25/5).
Dua kebijakan baru pemerintah di bidang migas yaitu, pertama, minyak mentah (crude oil) hasil eksplorasi bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri yang selama ini diekspor, sebagian diolah di kilang Pertamina di dalam negeri.
(Baca: Atasi Defisit Migas, Pemerintah Atur Kebijakan Ekspor Minyak Mentah)
Kebijakan ini untuk mengurangi impor crude oil yang dibutuhkan oleh Pertamina untuk memproduksi bahan bakar minyak (BBM), seperti solar dan avtur. Dengan begitu, defisit neraca perdagangan diharapkan bisa berkurang. April lalu, defisit neraca dagang mencetak rekor tertinggi.
Kebijakan kedua, hasil investasi Pertamina di luar negeri akan dicatat dalam neraca pendapatan primer. Selama ini, pencatatan ini tidak dilakukan. Yang ada adalah pencatatan minyak mentah hasil eksplorasi Pertamina di luar negeri sebagai impor migas dalam neraca perdagangan.
Terkait kebijakan kedua, Piter menjelaskan, ini akan membuat berkurangnya defisit neraca pendapatan primer yang selama ini selalu defisit sangat besar. “Karena adanya pengakuan penerimaan hasil investasi Pertamina di luar negeri,” kata dia.
Defisit transaksi berjalan mencapai US$ 31,1 miliar atau 2,98% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sepanjang tahun lalu. Ini nyaris mendekati batas aman 3% PDB. Defisit sempat mencapai 3,18% PDB pada 2013, namun berangsur turun menjadi 2,95% pada 2014, lalu 2,03% pada 2015, kemudian 1,82% pada 2016, dan 1,6% pada 2017.
Tekanan defisit transaksi berjalan masih berlanjut. Defisitnya tercatat sebesar US$ 7 miliar pada kuartal I 2019, atau 2,6% dari PDB. Ini lebih tinggi dibandingkan kuartal I tahun lalu yang sebesar US$ 5,5 miliar atau 2,1% PDB. Secara rasio, defisit ini merupakan yang terburuk untuk periode kuartal I sejak 2013. Pada kuartal I 2013, defisit tercatat sebesar US$ 6 miliar atau 2,61% PDB.
Neraca transaksi berjalan menunjukkan ketahanan eksternal Indonesia. Neraca ini menggambarkan keseimbangan pasokan dan kebutuhan valuta asing (valas) terkait perdagangan internasional barang dan jasa. Membaiknya defisit transaksi berjalan diharapkan bisa mempengaruhi sentimen investor dan menopang nilai tukar rupiah lebih stabil.
Neraca transaksi berjalan terbebani oleh kesalahan pencatatan?
Salah satu kebijakan di bidang migas yang diambil pemerintah yakni pencatatan hasil investasi Pertamina di luar negeri dalam neraca pendapatan primer. Kebijakan ini menarik lantaran menyiratkan adanya ‘kesalahan pencatatan’ yang turut berkontribusi terhadap defisit transaksi berjalan.
Piter tak menampik faktor tersebut. “Iya, saya kira begitu, kesalahan pencatatan ini sayangnya terjadi selama ini,” kata dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, Bank Indonesia pernah meminta Pertamina untuk memasukkan hasil investasi di luar negeri dalam pembukuan dalam negeri sehingga masuk ke pendapatan primer. “Tapi tidak direspons,” kata dia.
Pertamina melalui Pertamina International EP tercatat berinvestasi di 12 sumur minyak luar negeri. Sumur minyak tersebut yakni Irak, Italia, Algeria, Myanmar, Malaysia, Namibia, Kanada, Nigeria, Kolombia, Tanzania, Perancis, dan Gabon.
Pada 2018 lalu, Pertamina international EP memproduksi migas sebesar 153 KBOEPD, dengan lifting migas ke Indonesia sebesar 6,5 juta barel. Dari capaian tersebut, perusahaan meraih pendapatan US$ 1,2 miliar dengan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) sebesar US$ 703 juta.
Menurut Darmin, pencatatan hasil investasi Pertamina di luar negeri bisa menambah pendapatan primer minimal US$ 450 juta setahun. Tahun lalu, pendapatan primer tercatat defisit Rp 30,4 miliar dan menjadi pemberat utama defisit transaksi berjalan yang mencapai US$ 31,1 miliar.