Pelaku Usaha Sambut Positif Fleksibilitas Skema Kontrak Migas

Katadata
Ilustrasi, anjungan migas lepas pantai. Rencana Kementerian ESDM memberikan fleksibilitas skema bagi hasil antara gross split dan cost reovery. Rencanan tersebut pun disambut baik pelaku usaha migas.
3/12/2019, 17.12 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menerapkan skema kontrak bagi hasil yang fleksibel sehingga investor bisa memilih cost recovery atau gross split. Wacana tersebut pun disambut baik para pelaku usaha migas.

Presiden Direktur Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan fleksibilitas kontrak bagi hasil akan memudahkan kontraktor migas. Pasalnya, kontraktor bisa memilih skema kontrak yang sesuai dengan kondisi lapangan migas yang dikelola.

"Pertamina EP sendiri akan tetap menggunakan skema cost recovery sampai kontrak selesai pada 2035," kata Nanang kepada katadata.co.id, Selasa (3/12).

Lebih lanjut dia menilai fleksibilitas kontrak juga bakal memberikan keleluasaan bagi investor. Namun, skema kontrak bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong investasi di sektor migas. 

"Ada banyak faktor lain, seperti kondisi geologi, keekonomian, kondisi lapangan, dan lain-lain," kata Nanang.

(Baca: Dorong Investasi, Perusahaan Migas Akan Bisa Pilih Skema Bagi Hasil)

Praktisi Migas Yusak Setiawan mengatakan pelaku industri sebenarnya tidak peduli dengan skema kontrak migas. Bagi para investor, keekonomian blok migas dan kepastian hukum menjadi faktor yang lebih penting. 

"Mereka tidaklah terlalu peduli dengan kontrak bagi hasil mana pun, yang lebih dikuatirkan oleh penanam modal yaitu kepastian hukum dari suatu kontrak tersebut," kata Yusak berdasarkan keterangan tertulis, Selasa (3/12).

Lebih lanjut Yusak mengatakan skema gross split dan recovery memiliki kelemahan masing-masing. Gross split diterapkan karena penerimaan negara dari hulu migas terus menurun. Sedangkan biaya pengembalian atau cost recovery terus meningkat.

Selain itu, penetapan cost recovery selalu menuai perdebatan antara pemerintah dan pelaku usaha mengenai biaya yang bisa dikembalikan dan biaya yang tidak bisa dikembalikan.

Dalam skema cost recovery, pemerintah hanya mengembalikan biaya operasi jika ditemukan minyak dan/atau gas bumi yang dapat diproduksi secara komersial. Jika kegiatan eksplorasi tidak menghasilkan temuan migas, maka seluruh biaya ditanggung investor. 

Selama periode 2009 sampai 2012, investor migas mengeluarkan dana hingga lebih dari Rp 20 triliun untuk menemukan cadangan migas. "Kerugian ini murni ditanggung oleh pihak penanam modal dan tidak bisa dikembalikan," ujarnya.

Sedangkan dalam skema gross split, pemerintah dan investor bakal sulit menentukan variable bagi hasil (split). Salah satu contohnya kontrak gross split Pertamina di blok Offshore North West Java (ONWJ). 

Kontrak Pertamina di blok tersebut merupakan perusahaan pertama yang menggunakan skema bagi hasil gross split. Besaran bagi hasil yang diterima kontraktor migas  didefinisikan dalam formula berikut: Contractor Split = Base Split + Variable Split + Progressive Split dimana Base Split adalah 43% untuk minyak dan 48% untuk gas.

"Perlu dipikirkan peninjauan kembali variable split dilihat dari faktor bawah permukaan yang menurut saya sangat keliru," ujar Yusak.

(Baca: SKK Migas Dukung Kementerian ESDM yang Bebaskan Investor Pilih Kontrak)

Reporter: Verda Nano Setiawan