Harga minyak dunia pada Selasa (10/3) masih berada di level bawah sekitar US$ 30 per barel setelah anjlok lebih dari 20% pada hari kemarin. Turunnya harga minyak bisa membuat harga BBM turun, tetapi juga membuat penerimaan negara berkurang.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebut anjloknya harga minyak dunia berpotensi menyebabkan resesi ekonomi. Sebab, turunnya harga minyak membuat harga komoditas seperti sawit dan batu bara ikut turun.
Hal itu lantaran harga minyak sering menjadi acuan harga komoditas ekspor unggulan. "Ini sangat berbahaya pengaruhnya buat kinerja ekspor pada 2020. Sebelumnya virus corona sudah menurunkan kinerja neraca dagang, ditambah perang harga minyak bisa memicu resesi ekonomi," kata Bhima ke Katadata.co.id pada Selasa (10/3).
Apalagi situasi ekonomi saat ini tak kondusif. Bhima menyebut kepanikan sedang melanda pasar keuangan. Hal itu terlihat dari penurunan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG hingga 6.9% dalam sepekan.
Hal tersebut memicu investor asing melakukan aksi jual saham sebesar Rp 1 triliun. "Dana asing yang keluar membuat rupiah makin tertekan sehingga rupiah diperkirakan melemah ke 14.500-15.000 dalam jangka waktu pendek," kata dia.
Selain itu, menurut Bhima, turunnya harga minyak dipastikan membuat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari migas akan menurun. Apalagi, harga minyak saat ini dibawah asumsi APBN.
Pemerintah menetapkan harga minyak Indonesia atau ICP dalam APBN sebesar US$ 63 per barel. Rata-rata ICP minyak mentah Indonesia pada Februari 2020 lalu pun hanya mencapai US$ 56,61 per barel, turun sebesar US$ 8,77 per barel dari US$ 65,38 per barel pada bulan sebelumnya.
(Baca: Dampak Turunnya Harga Minyak, SKK Migas Bakal Revisi Program Hulu)
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati juga mengatakan harga minyak yang rendah bisa berdampak buruk terhadap proyek hulu migas. Nicke menyebut kegiatan hulu migas bisa tak ekonomis jika harga minyak terus turun.
"Untuk hulu memang ini berpengaruh ya karena keekonomian jadi masalah," ujar Nicke saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin (9/3).
Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu menambahkan, rata-rata biaya produksi migas Pertamina saat ini di kisaran US$ 9-10 per barel. Meski begitu, jika harga minyak mentah dunia terus turun, maka biaya produksi juga akan semakin meningkat.
Oleh karena itu, dia telah menyiapkan beberapa langkah antisipasi agar proyek hulu migas perusahaan tidak terganggu. Di antaranya dengan efisiensi dan optimalisasi kerja perusahaan.
"Misalnya strategi pengadaan lebih terpadu. Kemudian strategi logistik lebih dibuat optimum, supaya cost production bisa turun," ujar Dharmawan.
Presiden Direktur Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan kondisi yang sama pernah terjadi pada 2016 lalu ketika harga minyak menyentuh level US$ 30 per barel. Oleh karena itu, pihaknya bakal tetap melanjutkan sejumlah proyek migas yang sedang berjalan.
"Kalau kami menghentikan kegiatan, nanti dampaknya jangka panjang, Ketika harga minyak naik, kami tidak punya apa apa," kata Nanang.
Pasalnya, Pertamina turut andil dalam mencapai target satu juta barel minyak (bopd) pada 2030. Bahkan perusahaan pelat merah tersebut menargetkan produksi satu juta bopd bisa dicapai pada 2026. Hal itu sejalan dnegann kebutuhan kilang Pertamina.
Proyek kilang baru dan pengembangan milik Pertamina bakal meningkatkan kapasitas kilang dari satu juta bopd menjadi dua juta bopd. Untuk mencapai target tersebut, BUMN itu bakal memperbanyak pengeboran sumur dan seismik untuk menemukan sumber cadangan baru. Selain itu, perseroan bakal menerapkan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan-lapangan tua.
Sedangkan Kementerian ESDM telah mempersiapkan strategi mencapai satu juta bopd, yaitu mendorong eksplorasi, mempertahankan tingkat produksi di lapangan-lapangan minyak yang ada, hingga peningkatan cadangan yang bisa diproduksi (Reserve to Production).
Terdapat juga program optimalisasi produksi minyak, antara lain melalui steamflood dan chemical enhanced oil recovery (EOR). Selain itu, reaktivasi 13 ribu sumur minyak yang sudah ditinggalkan.
(Baca: Harga Minyak Anjlok, Harga BBM BP-AKR Bisa Turun Bulan Depan)
Di satu sisi, rendahnya harga minyak bisa membawa dampak positif. Bhima menilai beban subsidi BBM dalam APBN juga bisa turun. Meskipun dalam empat tahun terakhir pemerintah sudah memangkas belanja subsidi BBM secara besar-besaran.
Masyarakat pun dapat menikmati harga minyak yang murah. "Otomatis BBM nonsubsidi seperti pertamax, dex, akan diturunkan harganya," ujar dia.
Nicke memang belum menyatakan bakal menurunkan harga BBM non subsidi. Namun, dia menyebut turunnya harga minyak bisa dimanfaatkan dengan menambah impor minyak mentah.
“Di hilir kan bagus. Kami akan beli banyak jadinya, mumpung harga masih rendah,” ujar Nicke saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, pada Senin (9/3).
Berdasarkan data Bloomberg pada Senin (10/3) pukul 12.00 WIB, harga minyak jenis West Texas Intermediate atau WTI bertengger di level US$ 33,23 per barel, turun dari pekan lalu di kisaran US$ 48 per barel.
Sedangkan harga minyak jenis Brent berada di level US$ 36,83 per barel, turun dari pekan lalu sebesar US$ 51,9 per barel. Harga minyak turun setelah Arab Saudi memutuskan meningkatkan produksi hingga 10 juta barel per hari mulai April 2020 dan menurunkan harga minyak produksinya sebesar US$ 6-8 per barel.
Langkah Arab Saudi sebagai respons dari keputusan Rusia yang menolak rencana Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau OPEC menambah pemangkasan produksi. Padahal rencana tersebut diharapkan bisa mengangkat harga minyak yang terus tertekan akibat merebaknya virus corona.
(Baca: Harga Minyak Anjlok Setengah, Kemenkeu Hitung Dampak ke APBN)