Shell Pangkas Belanja Modal US$ 5 Miliar Imbas Anjloknya Harga Minyak

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi, logo Shell. Salah satu perusahaan migas raksasa, Shell, memutuskan untuk memangkas belanja modal pada tahun ini karena harga minyak jatuh hingga di bawah US$ 30 per barel.
Penulis: Ratna Iskana
23/3/2020, 16.39 WIB

Salah satu perusahaan migas raksasa, Shell, memutuskan memangkas belanja modal pada tahun ini. Hal itu merupakan dampak dari turunnya harga minyak dunia.

Dilansir dari Reuters, Shell memutuskan untuk memotong belanja modal sebesar US$ 5 miliar menjadi US$ 20 miliar pada tahun ini. Inisiatif itu bakal menyumbang sekitar US$ 8-9 miliar untuk arus kas sebelum pajak.

Selain itu, Shell juga menunda tahap selanjutnya dari rencana pembelian kembali sahamnya atau buyback. Langkah tersebut diambil untuk menghadapi imbas dari jatuhnya harga minyak.

Meski demikian, Shell Indonesia belum bisa dimintai keterangan terkait pengaruh pemangaksan belanja modal terhadap proyek di Tanah Air. Vice President External Relations Shell Indonesia Rhea Sianipar tidak menjawab ketika dikonfirmasi Katadata.co.id pada Senin (23/3).

Shell Indonesia tercatat memiliki bisnis di sektor hilir dan hulu migas. Untuk sektor hilir, Shell Indonesia menjual BBM dan pelumas. Sedangkan di bisnis hulu, Shell bekerja sama dengan Inpex Corporation mengembangkan proyek lapangan gas Abadi Blok Masela.

(Baca: Anjlok Terdalam Sejak 1991, Harga Minyak Bisa Picu Gelombang Deflasi)

Harga minyak turun dalam empat minggu terakhir dan telah jatuh hingga 60% dari awal tahun ini. Berdasarkan data Bloomberg pada Senin (23/3) pukul 3.25 WIB, harga minyak jenis West Texas Intermediate turun hingga level US$ 22,48 per barel. Sedangkan harga minyak jenis Brent terpuruk ke level US$ 25,62 per barel.

Hal itu dipicu pandemi virus corona yang telah menginfeksi lebih dari 325 ribu orang dan menewaskan setidaknya 14 ribu orang di seluruh dunia. Pandemi virus corona pun berdampak pada aktivitas bisnis, perjalanan, hingga kehidupan sehari-hari.

Banyak perusahaan migas yang akhirnya memangkas belanja modal. Bahkan beberapa produsen minyak mulai memberi cuti kepada karyawannya.

Selain virus corona, perang harga antara Rusia dan Arab Saudi yang dimulai sejak awal bulan ini semakin memperburuk harga minyak."Permintaan hancur dan bakal semakin buruk karena banyak negara menutup aktivitas bisnis dan kapasitas tangki untuk minyak semkain sedikit," kata Senior Market Analys OANDA Edward Moya dikutip dari Reuters pada Senin (23/3).

Head Of Research Vitol, perusahaan perdagangan minyak terbesar di dunia, memproyeksi permintaan minyak bakal turun lebih dari 10 juta barel per hari. Angka tersebut setara dengan 10% konsumsi harian minyak global.

(Baca: Shell Proyeksi Permintaan LNG Naik Hingga 700 Juta Ton pada 2040)